Situasi sosial ekonomi di Jawa pada abad XIX semakin
buruk setelah berganti-ganti dilaksanakan eksploitasi kolonial tradisional,
liberal, dan etis. Semakin derasnya westernisasi yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial maka perubahan sosial
masyarakat tidak dapat dibendung lagi. Di satu pihak batig saldo yang diperoleh pemerintah dialirkan ke Belanda dan di
pihak lain kemelaratan dan kesengsaraan makin dalam melekat di hati msayarakat
Indonesia.
dr. Wahidin Sudirohusodo
|
Sebagai akibat dari politik etis yang di dalamnya
terkandung usaha memajukan pengajaran maka pada dekade pertama abad XX
bagi anak-anak Indonesia masih mengalami hambatan kekurangan dana belajar.
Keadaan yang demikian ini menimbulkan keprihatinan dr. Wahidin Sudirohusodo
untuk dapat menghimpun dana itu maka pada tahun 1906-1907 melakukan propaganda
keliling Jawa. Rupanya ide yang baik dari dr. Wahidin itu diterima dan
dikembangkan oleh Sutomo, seorang mahasiswa School
tot Opleiding voor Inlandsche Arsten (STOVIA)
dan dari sinilah awal perkembangannya menuju keharmonisan bagi tanah dan orang
Jawa dan Madura. Akhirnya, Sutomo dan rekan-rekannya mendirikan BU di Jakarta
pada tanggal 20 Mei 1908.
Untuk merealisasikannya diperlukan pengajaran bagi
orang Jawa agar mendapatkan kemajuan dan tidak dilupakan usaha membangkitkan
kembali kultur Jawa; jadi, antara tradisi, kultur dan edukasi Barat
dikombinasikan.
Corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan
dalam wadah organisasi modern dalam arti bahwa organisasi itu mempunyai
pimpinan, ideologi yang jelas, dan anggota. Yang sangat menarik pada BU karena
organisasi ini diikuti oleh organisasi lainnya dan dari sinilah terjadinya
perubahan sosio-politik.
Reaksi yang kurang enak dating dari orang Belanda
yang tidak senang akan kelahiran ”Si Molek” dan mengatakan bahwa orang Jawa
makin banyak “cingcong”. Tetapi ada juga pendapat kelompok etis yang mengatakan
BU lahir wajar dan itu merupakan renaissance di Timur (oostersche renaiscance) dalam arti luas kebangkitan budaya timur.
Dikalangan priyayi gedhe yang sudah mapan tidak senang terhadap lahirnya Budi
Utomo sehingga para Bupati membentuk perkumpulan Regenten Bond Setia Mulia pada tahun 1908 din Semarang untuk
mencegah cita-cita BU yang menggangu stabilitas smereka. Sebaliknya di kalangan Bupati
progresif seperti Tirtokusumo dari Karang Anyar sangat mendukung BU.
dr. Soetomo |
Pancaran etnonasionalisme makin membesar dan ini
dibuktikan dalam kongres BU yang diselenggarakan pada tanggal 3-5 Oktober 1908.
Dalam waktu singkat dalam BU terjadi perubahan orientasi. Kalau semula
orientasinya terbatas pada kalangan priyayi maka menurut edaran yang dimuat
dalam Bataviaasch Nieuwblads tanggal
23 Juli 1908, BU cabang Jakarta mulai menekankan cara baru bagaimana
memperbaiki kehidupan rakyat. Di dalam kongres itu terdapat dua prinsip
perjuangan, yang pertama diwakili golongan muda cenderung menempuh jalan
perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial, sedangkan yang kedua,
diwakili oleh golongan tua yang ingin tetap ada cara lama yaitu perjuangan
sosio-kultural. Bagi golongan muda perjuangannya itu sangat tepat guna
memberikan imbangan politik pemerintah. Orientasi politik semakin menonjol dan
kalangan muda mencari oraganisasi yang sesuai dengan mendirikan Sarikat Islam
(SI), Indische Partij (IP) sebagai wadahnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun ada
kelompok muda yang radikal, tetapi kelompok tua masih meneruskan cita-cita BU
yang mulai disesuaikan dengan perkembangan politik. Pada tahun 1914 ketika
pecah Perang Dunia I BU turut memikirkan cara mempertahankan Indonesia dari
serangan luar dengan mengadakan milisi yang diberi wadah dalam Komite
Pertahanan Hindia (Comite Indie Weebaar). Pada waktu dibentuk Dewan Rakyat
(Volksraads) pada tahun 1918 wakil-wakil BU duduk di dalamnya yang jumlahnya
cukup banyak dan hal ini karena pemerintah tidak menaruh kecurigaan pada BU dan
juga karena sifatnya sangat moderat.
Pengurus Pertama Budi Utomo |
Pada dekade
ketiga abad XX kondisi-kondisi sosio-politik kurang matang dan BU mulai mencari
orientasi politik yang mantap dan mencari masa yang lebih luas. Kebijaksanaan
politik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial,
khususnya tekanan terhadap pergerakan nasional maka BU mulai kehilangan wibawa,
terjadilah perpisahan kelompok moderat dan radikal. Pengaruh BU makin berkurang
dan tahun 1935 organisasi itu bergabung dengan organisasi lain menjadi Partai
Indonesia Raya (Perindra). Sejak saat itu BU terus mundur dari arena politik
dan kembali ke keadaan sebelumnya. Walaupun ketua partai itu dr. Sutomo, salah
seorang yang menerima ilham dari dr. Wahidin Sudirohusodo, orang sudah tidak
banyak mengharapkan lebih banyak kegiatan dan pimpinannya. Namun demikian,
dengan segala kekurangannya, BU telah mewakili aspirasi pertama dari rakyat
Jawa ke arah kebangkitan dan juga aspirasi rakyat Indonesia. Hampir semua
pimpinan terkemuka dari gerakan-gerakan nasionalis Indonesia pada permulaan
abad XX paling kurang telah mempunyai kontak dengan organisasi ini.
Mengapa BU tidak langsung terjun ke lapangan politik
seperti oraganisasi yang kemudian lahir? Rupanya BU menepuh cara dan
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada waktu itu sehingga wajar jika BU
berorientasi kultural. Tindakan yang tepat berarti BU tanggap terhadap politik kolonial yang sedang
berlaku. Contoh ialah bahwa pemerintah sudah memasang rambu Regeerings Reglement (RR) pasal 111 yang
bertujuan membatasi hak untuk rapat dann berbincang yang dengan lain perkataan
hak berpolitik dibatasi. Selama RR masih berlaku maka kegiatan BU hanya
terbatas pada bidang sosio-kultural. Ini merupakan bukti bahwa BU selalu
menyesuaikan diri dengan keadaan sehingga gerakan kultural lebih mewarnai
kegiatan BU pada fase awal. Kebudayaan sendiri dijunjung tinggi guna menghargai
harga diri agar mampu menghadapi kultur asing yang masuk.
Dalam perjalanannya, BU dengan fleksibitanya itu
mulai menggser orientasinya dari kultur ke politik. Edukasi Barat dianggap
penting dan dipakai sebagai jalan untuk menempuh jenjang sosial yang lebih
tinggi. Golongan kyai cilik mendapatkan kesempatan untuk ikut seta
memobilisasikan diri melalui kesempatan gerakan yang lebih merakyat. Usaha ini
bersamaan dengan munculnya golongan menengah Indonesia dalam rangka memperoleh
perbaikan social ekonomi maka tindakan-tindakannya harus disesuaikan dengan
jalur politik. Meskipun demikian BU juga tidak cepat-cepat mengubah kehalauan
politik semata dan ini memang dikuatkan oleh Dwijosewoyo bahwa “tenang dan
lunak adalah sifat BU”.
BU
bukan hanya dikenal sebagai salah satu organisasi nasional yang pertama di
Indonesia, tetapi juga sebagai salah satu organisasi yang terpanjang usianya
sampai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Memang BU, seperti sudah
disinggung di atas, memiliki arti penting, meskipun kalau dihitung anggotanya
hanya 10 ribu, sedangkan SI mencapai 360 ribu, BU lah penyebab berlangsungnya
perubahan-perubahan politik hingga terjadi integrasi nasional, maka wajarlah
pada kelahiran BU tanggal 20 Mei disebut sebagai hari Kebangkitan Nasional. Lahirnya BU menampilkan fase pertama
dari nasionalisme Indonesia. Fase ini menunjuk pada etno nasionalisme dan
proses penyadaran diri terhadap identitas bangsa Jawa (Indonesia)
Penulis: Bagus Bayu Prayogi
Editor: Endar Mei Candra
Sumber:
Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional (dari Budi Utomo
Sampai Proklamasi 1908 – 1945). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar