Jumat, 12 September 2014

Tradisi Melasti di Pura Mandara Giri Semeru Agung Desa Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang

Tradisi Melasti
     Tradisi Melasti adalah upacara yang dilakukan oleh umat beragama Hindu sebelum melakukan Nyepi. Upacara melasti merupakan upacara untuk menyucikan buwana agung[1] dan buwana alit[2], serta pratima-pratima Pura yang akan dipakai dalam perayaan hari raya Nyepi. Upacara melasti dilaksanakan di laut, waduk atau sumber mata air. Upacara melasti dilaksanakan pada panglong ke 13, sasih kesanga (candra).[3]


            Menurut hasil wawancara dengan Bapak Diksa yang merupakan warga Hindu di Desa Senduro, beliau mengatakan tentang makna melasti: “Kalau di sini Melasti itu adalah sesuci laut begitu biasanya. Tapi kalau di Bali ada di dalam lontar disebutkan secara umum lah bahwa melasti ini mensucikan alam semesta begitu ya. Makanya di sana ada istilah anghanyutaken lare klise letukeng buwane.[4] Buwane ini buwana atau alam semesta ini dibersihkan dari kotoran. Dari ini lah umat Hindu melakukan sesuci laut. Di lontar juga disebutkan lagi amet amerte ing telenge samudre berarti mencari tirta amerta[5] di dalam samudra atau tengah-tengah samudra. Lah tirta amerta inilah yang dipakai sebagai pensucian biar alam semesta tetap dalam pensucian karena amerta itu artinya sumber kehidupan jadi sumber kehidupan di alam semesta ini tetap ada begitu diharapkan umat Hindu. Kan nanti kalau sumber kehidupannya tidak ada kan rugi juga.”
Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.[6]

Sejarah Melasti dan Waktu Pelaksanaanya
Melasti ini sudah ada sejak jaman Hindu di Indonesia. Hanya saja dahulu masih diistilahkan dengan sesuci laut. Hingga masuknya agama Islam dan Nasrani ke Indonesia, tradisi Melasti oleh umat Hindu ini masih tetap dilakukan. Di Pura Mandara Giri Semeru Agung, Melasti ini sebenarnya sudah ada sebelum pura ini berdiri namun pada waktu itu dalam pelaksanaanya masih bergabung dengan daerah-daerah lain. Pada tahun 1992, tepat setelah pura ini berdiri warga Hindu di sekitar pura mulai mengadakan melasti.
Waktu pelaksanaan tradisi melasti ini adalah tiga hari sebelum Nyepi. Namun di Pura Mandara Giri Semeru Agung, waktu pelaksanaan Melasti ini adalah di hari Minggu. Perbedaan waktu pelaksanaan ini karena di Desa Senduro warga yang beragama Hindu jumlahnya sedikit berbeda dengan di Bali yang jumlahnya sangat banyak. Menurut penuturan Bapak Sukis dan Bapak Diksa jumlah yang sedikit ini membuat pengurus Pura Mandara Giri Semeru Agung memilih hari Minggu agar semua orang Hindu bisa ikut karena tepat dengan hari libur sekolah dan kantor.

Tempat Tradisi
Tempat tradisi Melasti adalah di sumber air baik itu sungai, danau atau rawa maupun pantai atau laut. Menurut penuturan Bapak Sukis dan Bapak Diksa tempat yang dipakai itu adalah sumber air karena di air terdapat Tirta Amerta yang digunakan oleh umat Hindu untuk penyucian.
Bapak Sukis dan Bapak Diksa mengatakan tempat yang paling baik digunakan adalah laut, namun jika jarak antara pura dengan laut yang sangat jauh, umat Hindu juga bisa menggunakan sumber air yang terdekat seperti sungai dan danau.
Sebelum Pura Mandara Giri Semeru Agung berdiri, umat Hindu di Senduro melaksanakan Melasti di sungai. Untuk sekarang ini Pura Mandara Giri Semeru Agung melaksanakan tradisi Melasti di laut. Pemilihan laut karena selain jarak yang dekat juga karena di laut ini diyakini tempat yang paling baik.
Pada periode tahun 1992 sampai 1999 Pura Mandara Giri Semeru Agung melaksanakan Melasti bersama dengan umat Hindu yang ada di Jember tepatnya di pantai Paseban, Kencong.
Memasuki tahun 2000, pura Mandara Giri Semeru Agung memindah tempat pelaksaanya di pantai Watu Pecak, Desa Selok, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Pemindahan tempat ini dikarenakan jarak yang relatif jauh dari pura dan juga karena ikut dengan kabupaten lain.
Pemilihan Watu Pecak selain karena faktor geografis yang lebih dekat dengan pura juga dikarenakan kesakralan dan hubungan spiritual di pantai ini. Dalam penuturannya, Bapak Diksa mengatakan bahwa pantai Watu Pecak ini sejak jaman dahulu sudah dipakai dalam pelaksanaan Melasti. Selain itu faktor pengunjung yang datang ke pantai ini yang relatif sepi dibandingkan pantai Bambang yang letaknya bersebelahan juga menjadi penentu mengapa pantai Watu Pecak ini dipilih sebagai tempat Melasti dilangsungkan. Hingga tahun 2014 pura Mandara Giri Semeru Agung masih tetap menggunakan pantai Watu Pecak untuk melaksanakan Melasti.
Meskipun begitu berpindahnya tempat dari pantai Paseban ke Watu Pecak dalam pelaksanaanya tidak ada perubahan. Perubahan hanya terjadi dalam segi umat atau peserta yang ikut dalam pelaksanaanya.

Pelaksanaan Melasti
Upacara Melasti dilakukan dengan cara persembahyangan bersama oleh umat Hindu dengan mengahadap ke arah laut, seluruh peserta upacara mengenakan baju putih. Setelah persembahyangan selesai dilakukan, seluruh benda dan perlengkapan yang akan dipakai untuk Nyepi dibawa ke laut.


Urutan Pelaksanaan Upacara Melasti
·         Umat Hindu melaksanakan upcara melasti dan tawur agung kesanga dalam rangkaian pelaksanaan hari raya Nyepi. Upacara melasti ini diadakan tepat pada Tilem Kesanga. Melasti dan tawur agung kesanga ini bertujuan untuk memohon tirta amertha sebagai air pembersih dari Hyang Widhi[7] sekaligus pula menghilangkan unsur-unsur bhuta[8] yang dapat mengganggu pelaksanaan hari Nyepi.
·         Prosesi melasti dimulai dengan persiapan iring-iringan umat serta jempana dan barong yang akan diarak menuju tempat sumber air. Sumber air yang menjadi tujuan prosesi melasti ini adalah danau atau pantai yang letaknya tidak jauh dari Pura di desa terdekat. Umat yang hadir berjalan beriringan dengan membawa sarana-sarana upacara menuju sumber air (sungai, danau, pantai) dengan diiringi tabuh beleganjur.
·         Di tepi sumber air itu, upacara melasti dilanjutkan dengan prosesi pengambilan air suci untuk membersihkan sarana-sarana upacara termasuk jempana dan barong. Dalam upacara ini dilaksanakan persembahyangan bersama. Setelah persembahyangan bersama seluruh sarana-sarana upacara serta barong dibawa kembali ke pura.[9]

Di Pura Mandara Giri Agung sendiri ada sedikit perbedaan saat pelaksanan Melasti. Yaitu dari segi pakaian yang dipakai. Umat Hindu di Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dalam melaksanakan Melasti mengenakan pakaian putih. Sedangkan di umat Hindu Pura Mandara Giri Semeru Agung pakaian yang dikenakan tidak hanya putih melainkan pakaian yang berwarna-warni. Hal ini merupakan salah satu faktor dari jumlah umat Hindu yang lebih sedikit.
Selain pakaian, perbedaan juga terdapat pada alat-alat yang akan disucikan. Menurut Bapak Diksa di Bali ada bentuk simbolis yang seperti boneka. Boneka ini adalah alat yang dipakai untuk mengundang Ida Sang Hyang Widhi. Dipakainya bonek ini lantaran bentuk dari Hyang Widhi ini tidak terlihat dan tidak diketahui bentuknya.
Persembahyangan Melasti ini dipimpin oleh seorang pendeta. Di sini juga terdapat perbedaan antara Bali dengan Senduro. Karena faktor di pura Mandara Giri Semeru Agung yang tidak memiliki pendeta maka proses persembahnyangan dipimpin oleh seorang pemangku dari pura yang selanjutnya juga diikuti oleh pemangku[10] yang berasal dari desa.
Saat tradisi Melasti masih ikut dengan Jember tahun 1992-1999. Sebenarnya pura Mandara Giri Semeru Agung memiliki seorang pendeta. Namun ketika proses Melasti yang dilakukan di Watu Pecak, pendeta dari Pura Mandara Giri Semeru Agung sudah meninggal. Alhasil pemangku pura yang memimpin hingga sekarang.
Namun dalam segi proses pelaksanaannya semuanya hampir sama. Seperti halnya sesaji yang akan dilarungkan ke laut, yang berbeda hanya jumlah sesaji yang dilarungkan. Mengingat jumlah umat Hindu di Senduro yang relatif sedikit daripada Bali.





[1] Buwana Alit adalah Manusia
[2] Buwana Agung adalah Alam Semesta
[3] Prasetyo Hadi Sarono, ”Tradisi Upacara Melasti Pada Masyarakat Hindu (Study Kasus Di Dusun Putuk, Desa Banaran, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri)”, Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, 2012.
[4] Anghanyutaken Lare Klise Letukeng Buwane adalah Menghayutkan Kotoran Yang Ada Di Alam Semesta
[5] Tirta Amerta adalah Air Kehidupan atau Air Suci
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Nyepi
[7] Hyang Widhi sama dengan Yang Maha Esa. Nama yang dipakai oleh umat Hindu untuk meyebut Tuhan.
[8] Bhuta adalah simbol kejahatan di dunia. Di dalam Islam sama dengan setan.
[9] http://catatanradiograf.blogspot.com/2010/03/upacara-melsti-mekiyis-dalam-perayaan.html
[10] Pemangku seperti seorang imam dalam agama Islam. Sedangkan pendeta ini hampir sama dengan imam besar.

Baca Juga:
1. Pura Mandara Giri Semeru Agung, Senduro, Lumajang
2. Video Dokumenter Upacara Adat Melasti, Mecaru, dan Ogoh-Ogoh dalam Menyambut Nyepi di Senduro, Lumajang, Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar