Tradisi
Melasti
Tradisi
Melasti adalah upacara yang dilakukan oleh umat beragama Hindu sebelum
melakukan Nyepi. Upacara melasti merupakan upacara
untuk menyucikan buwana agung[1]
dan buwana alit[2],
serta pratima-pratima Pura yang akan dipakai dalam perayaan hari raya Nyepi.
Upacara melasti dilaksanakan di laut, waduk atau sumber mata air. Upacara
melasti dilaksanakan pada panglong ke 13, sasih kesanga (candra).[3]
Menurut hasil
wawancara dengan Bapak Diksa yang merupakan warga Hindu di Desa Senduro, beliau
mengatakan tentang makna melasti: “Kalau di sini Melasti itu adalah sesuci laut
begitu biasanya. Tapi kalau di Bali ada di dalam lontar disebutkan secara umum
lah bahwa melasti ini mensucikan alam semesta begitu ya. Makanya di sana ada
istilah anghanyutaken lare klise letukeng buwane.[4]
Buwane ini buwana atau alam semesta ini dibersihkan dari kotoran. Dari ini lah
umat Hindu melakukan sesuci laut. Di lontar juga disebutkan lagi amet amerte
ing telenge samudre berarti mencari tirta amerta[5]
di dalam samudra atau tengah-tengah samudra. Lah tirta amerta inilah yang
dipakai sebagai pensucian biar alam semesta tetap dalam pensucian karena amerta
itu artinya sumber kehidupan jadi sumber kehidupan di alam semesta ini tetap
ada begitu diharapkan umat Hindu. Kan nanti kalau sumber kehidupannya tidak ada
kan rugi juga.”
Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu
melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga
Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di
Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah
sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan
alam.[6]
Sejarah Melasti dan Waktu Pelaksanaanya
Melasti
ini sudah ada sejak jaman Hindu di Indonesia. Hanya saja dahulu masih
diistilahkan dengan sesuci laut. Hingga masuknya agama Islam dan Nasrani ke
Indonesia, tradisi Melasti oleh umat Hindu ini masih tetap dilakukan. Di Pura
Mandara Giri Semeru Agung, Melasti ini sebenarnya sudah ada sebelum pura ini
berdiri namun pada waktu itu dalam pelaksanaanya masih bergabung dengan
daerah-daerah lain. Pada tahun 1992, tepat setelah pura ini berdiri warga Hindu
di sekitar pura mulai mengadakan melasti.
Waktu
pelaksanaan tradisi melasti ini adalah tiga hari sebelum Nyepi. Namun di Pura
Mandara Giri Semeru Agung, waktu pelaksanaan Melasti ini adalah di hari Minggu.
Perbedaan waktu pelaksanaan ini karena di Desa Senduro warga yang beragama
Hindu jumlahnya sedikit berbeda dengan di Bali yang jumlahnya sangat banyak.
Menurut penuturan Bapak Sukis dan Bapak Diksa jumlah yang sedikit ini membuat
pengurus Pura Mandara Giri Semeru Agung memilih hari Minggu agar semua orang
Hindu bisa ikut karena tepat dengan hari libur sekolah dan kantor.
Tempat Tradisi
Tempat
tradisi Melasti adalah di sumber air baik itu sungai, danau atau rawa maupun
pantai atau laut. Menurut penuturan Bapak Sukis dan Bapak Diksa tempat yang
dipakai itu adalah sumber air karena di air terdapat Tirta Amerta yang
digunakan oleh umat Hindu untuk penyucian.
Bapak
Sukis dan Bapak Diksa mengatakan tempat yang paling baik digunakan adalah laut,
namun jika jarak antara pura dengan laut yang sangat jauh, umat Hindu juga bisa
menggunakan sumber air yang terdekat seperti sungai dan danau.
Sebelum
Pura Mandara Giri Semeru Agung berdiri, umat Hindu di Senduro melaksanakan
Melasti di sungai. Untuk sekarang ini Pura Mandara Giri Semeru Agung
melaksanakan tradisi Melasti di laut. Pemilihan laut karena selain jarak yang
dekat juga karena di laut ini diyakini tempat yang paling baik.
Pada
periode tahun 1992 sampai 1999 Pura Mandara Giri Semeru Agung melaksanakan
Melasti bersama dengan umat Hindu yang ada di Jember tepatnya di pantai
Paseban, Kencong.
Memasuki
tahun 2000, pura Mandara Giri Semeru Agung memindah tempat pelaksaanya di
pantai Watu Pecak, Desa Selok, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Pemindahan
tempat ini dikarenakan jarak yang relatif jauh dari pura dan juga karena ikut
dengan kabupaten lain.
Pemilihan
Watu Pecak selain karena faktor geografis yang lebih dekat dengan pura juga
dikarenakan kesakralan dan hubungan spiritual di pantai ini. Dalam
penuturannya, Bapak Diksa mengatakan bahwa pantai Watu Pecak ini sejak jaman
dahulu sudah dipakai dalam pelaksanaan Melasti. Selain itu faktor pengunjung
yang datang ke pantai ini yang relatif sepi dibandingkan pantai Bambang yang
letaknya bersebelahan juga menjadi penentu mengapa pantai Watu Pecak ini
dipilih sebagai tempat Melasti dilangsungkan. Hingga tahun 2014 pura Mandara
Giri Semeru Agung masih tetap menggunakan pantai Watu Pecak untuk melaksanakan
Melasti.
Meskipun
begitu berpindahnya tempat dari pantai Paseban ke Watu Pecak dalam
pelaksanaanya tidak ada perubahan. Perubahan hanya terjadi dalam segi umat atau
peserta yang ikut dalam pelaksanaanya.
Pelaksanaan Melasti
Upacara
Melasti dilakukan dengan cara persembahyangan bersama oleh umat Hindu dengan
mengahadap ke arah laut, seluruh peserta upacara mengenakan baju putih. Setelah
persembahyangan selesai dilakukan, seluruh benda dan perlengkapan yang akan
dipakai untuk Nyepi dibawa ke laut.
Urutan Pelaksanaan Upacara Melasti
·
Umat Hindu
melaksanakan upcara melasti dan tawur agung kesanga dalam rangkaian pelaksanaan
hari raya Nyepi. Upacara melasti ini diadakan tepat pada Tilem Kesanga. Melasti
dan tawur agung kesanga ini bertujuan untuk memohon tirta amertha sebagai air
pembersih dari Hyang Widhi[7] sekaligus pula
menghilangkan unsur-unsur bhuta[8] yang dapat mengganggu
pelaksanaan hari Nyepi.
·
Prosesi melasti
dimulai dengan persiapan iring-iringan umat serta jempana dan barong yang akan
diarak menuju tempat sumber air. Sumber air yang menjadi tujuan prosesi melasti
ini adalah danau atau pantai yang letaknya tidak jauh dari Pura di desa
terdekat. Umat yang hadir berjalan beriringan dengan membawa sarana-sarana
upacara menuju sumber air (sungai, danau, pantai) dengan diiringi tabuh
beleganjur.
·
Di tepi sumber air
itu, upacara melasti dilanjutkan dengan prosesi pengambilan air suci untuk
membersihkan sarana-sarana upacara termasuk jempana dan barong. Dalam upacara
ini dilaksanakan persembahyangan bersama. Setelah persembahyangan bersama
seluruh sarana-sarana upacara serta barong dibawa kembali ke pura.[9]
Di Pura Mandara Giri Agung sendiri
ada sedikit perbedaan saat pelaksanan Melasti. Yaitu dari segi pakaian yang
dipakai. Umat Hindu di Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dalam
melaksanakan Melasti mengenakan pakaian putih. Sedangkan di umat Hindu Pura
Mandara Giri Semeru Agung pakaian yang dikenakan tidak hanya putih melainkan
pakaian yang berwarna-warni. Hal ini merupakan salah satu faktor dari jumlah
umat Hindu yang lebih sedikit.
Selain pakaian, perbedaan juga
terdapat pada alat-alat yang akan disucikan. Menurut Bapak Diksa di Bali ada
bentuk simbolis yang seperti boneka. Boneka ini adalah alat yang dipakai untuk
mengundang Ida Sang Hyang Widhi. Dipakainya bonek ini lantaran bentuk dari
Hyang Widhi ini tidak terlihat dan tidak diketahui bentuknya.
Persembahyangan Melasti ini
dipimpin oleh seorang pendeta. Di sini juga terdapat perbedaan antara Bali
dengan Senduro. Karena faktor di pura Mandara Giri Semeru Agung yang tidak
memiliki pendeta maka proses persembahnyangan dipimpin oleh seorang pemangku
dari pura yang selanjutnya juga diikuti oleh pemangku[10]
yang berasal dari desa.
Saat tradisi Melasti masih ikut
dengan Jember tahun 1992-1999. Sebenarnya pura Mandara Giri Semeru Agung
memiliki seorang pendeta. Namun ketika proses Melasti yang dilakukan di Watu
Pecak, pendeta dari Pura Mandara Giri Semeru Agung sudah meninggal. Alhasil
pemangku pura yang memimpin hingga sekarang.
Namun dalam segi proses
pelaksanaannya semuanya hampir sama. Seperti halnya sesaji yang akan
dilarungkan ke laut, yang berbeda hanya jumlah sesaji yang dilarungkan.
Mengingat jumlah umat Hindu di Senduro yang relatif sedikit daripada Bali.
[1] Buwana Alit adalah Manusia
[2] Buwana Agung adalah Alam
Semesta
[3] Prasetyo Hadi Sarono,
”Tradisi Upacara Melasti Pada Masyarakat Hindu (Study Kasus Di Dusun Putuk,
Desa Banaran, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri)”, Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Sejarah, Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, 2012.
[4] Anghanyutaken Lare
Klise Letukeng Buwane adalah Menghayutkan Kotoran Yang Ada Di Alam
Semesta
[5] Tirta Amerta adalah Air
Kehidupan atau Air Suci
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Nyepi
[7] Hyang Widhi sama dengan
Yang Maha Esa. Nama yang dipakai oleh umat Hindu untuk meyebut Tuhan.
[8] Bhuta adalah simbol
kejahatan di dunia. Di dalam Islam sama dengan setan.
[9] http://catatanradiograf.blogspot.com/2010/03/upacara-melsti-mekiyis-dalam-perayaan.html
[10] Pemangku seperti seorang
imam dalam agama Islam. Sedangkan pendeta ini hampir sama dengan imam besar.
Baca Juga:
1. Pura Mandara Giri Semeru Agung, Senduro, Lumajang
2. Video Dokumenter Upacara Adat Melasti, Mecaru, dan Ogoh-Ogoh dalam Menyambut Nyepi di Senduro, Lumajang, Jawa Timur
Baca Juga:
1. Pura Mandara Giri Semeru Agung, Senduro, Lumajang
2. Video Dokumenter Upacara Adat Melasti, Mecaru, dan Ogoh-Ogoh dalam Menyambut Nyepi di Senduro, Lumajang, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar