Indische Partij adalah partai
politik pertama di Hindia
Belanda, berdiri tanggal 25 Desember 1912. Didirikan oleh tiga
serangkai, yaitu E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara. Maksudnya adalah untuk
mengganti Indische Bond yang
merupakan organisasi orang-orang Indonesia dan Eropa di Indonesia.
Hal ini disebabkan adanya keganjilan-keganjilan yang terjadi (diskriminasi)
khususnya antara keturunan Belanda totok dengan orang Belanda campuran (Indonesia).
IP sebagai organisasi campuran menginginkan adanya kerja sama orang Indo dan
bumi putera. Hal ini disadari benar karena jumlah orang Indo sangat sedikit,
maka diperlukan kerja sama dengan orang bumi putera agar kedudukan
organisasinya makin bertambah kuat.
"Tindakan Revolusioner memungkinkan orang untuk mencapai tujuan
mereka dengan cepat. Tentunya hal ini tidak bermoral [...] The Indische Party
aman dapat disebut revolusioner. Kata seperti ini tidak menakut-nakuti kami
[...]" Douwes Dekker.
Meskipun berumur pendek dan
mengumpulkan sedikit lebih dari 7.000 anggota, pengaruhnya sebagai partai
politik multi-rasial pertama yang menyatakan secara jelas, pada saat yang
radikal, jauh menjangkau gagasan kemerdekaan. Tujuannya IP adalah untuk
menyatukan semua penduduk asli Indonesia dalam perjuangan untuk bangsa yang
merdeka. Ketika IP dilarang dan kepemimpinannya diasingkan, anggota IP
mendirikan “Insulinde” yang sama radikalnya.
Yayasan 1912
Di bawah slogan "Indie voor
Indiers" keanggotaan dibuka untuk Indo-Eropa, pemukim permanen Belanda,
pribumi Indo-Cina dan semua masyarakat adat. Terinspirasi oleh peran utama “Eurasia
Ilustrados” dalam perjuangan kemerdekaan di Filipina, IP membayangkan peran
pemersatu yang sama untuk orang Indonesia. Lebih 5.000 orang dari 7.000
anggotanya adalah orang Indonesia.
E.F.E Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi |
Namun Douwes Dekker juga
memperingatkan masyarakat Indonesia untuk tidak membawa pada gagasan rasis
diindoktrinasi oleh sistem kolonial.
[...] kebijakan kolonial dan moralitas kolonial busuk. Hal ini tentu membuat
Indische Partij bertujuan dalam perjuangan melawan superioritas rasial dan
diskriminasi rasial [...] Ini akan memberikan dorongan terakhir untuk membuat
pohon rasial diskriminasi kecelakaan ke bumi [...] Tapi ketika Indo campuran
darah mengeluh tentang superioritas rasial ini mereka harus berhati-hati untuk
tidak bersalah diri dari dosa yang sama sehubungan dengan penduduk asli
pribumi. Mereka harus menyadari bahwa ide-ide artifisial ditanamkan dari milik
kelas penguasa lakukan tidak berarti memberikan mereka hak untuk memandang
rendah kelas (adat) Indiers dengan siapa mereka terikat bersama-sama dengan
rantai bisa dipecahkan [...] Douwes Dekker.
Tjipto Mangoenkoesoemo |
Pada tahun 1912 penghapusan
sekolah Batavia Pegawai Negeri Sipil dari Hindia Belanda dan larangan
mendirikan sekolah medis untuk Indo-Eropa dan Indo-China telah memberikan
kontribusi terhadap arus bawah yang kuat ketidakpuasan dan jumlah keanggotaan
IP yang meningkat dengan cepat. Dalam sebulan majalah, Partai memiliki 1.000
pelanggan yang membayar. Dalam takut edisi bahasa Melayu dan kolaborasi dengan
'Sarekat Islam' penguasa kolonial meningkatkan upayanya untuk melarang IP.
Pelarangan 1913
Hal yang ironis ini mendatangkan
cemoohan termasuk dari para pemimpin Indische Partij. R.M. Suwardi Suryaningrat
menulis artikel bernada sarkastis yang berjudul Als ik een Nederlander was (Andaikan aku seorang Belanda).
Akibat dari tulisan itu R.M. Suwardi Suryaningrat ditangkap. Menyusul sarkasme
dari Dr. Cipto Mangunkusumo yang dimuat dalam De Expres tanggal 26 Juli 1913 yang diberi
judul Kracht of Vrees?, berisi
tentang kekhawatiran, kekuatan, dan ketakutan. Dr. Tjipto pun ditangkap, yang
membuat rekan dalam Tiga Serangkai, Douwes Dekker mengkritik dalam tulisan di De Express tanggal 5 Agustus 1913 yang berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en
Soewardi Soerjaningrat (Pahlawan kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi
Soerjaningrat).
Soewardi Soerjadiningrat atau Ki Hajar Dewantara |
Secara eksplisit dan penuh
semangat menentang diskriminasi rasial luas oleh elit kolonial Belanda dan
asing advokasi jumlah kemerdekaan dari Belanda, pemerintah kolonial bergegas
untuk merek organisasi politik subversif dan dilarang hanya 1 tahun setelah
berdirinya.
Pada tahun 1913 mereka diasingkan
ke Belanda. Douwes Dekker dibuang ke Kupang, NTT sedangkan Dr.
Cipto Mangunkusumo dibuang ke Pulau Banda. Namun pada
tahun 1914 Cipto
Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia karena sakit. Sedangkan Suwardi
Suryaningrat dan E.F.E. Douwes Dekker baru kembali ke Indonesia pada tahun
1919. Suwardi Suryaningrat terjun dalam dunia pendidikan, dikenal sebagai Ki
Hajar Dewantara, mendirikan perguruan Taman Siswa.
E.F.E Douwes Dekker juga mengabdikan diri dalam dunia pendidikan dan mendirikan
yayasan pendidikan Ksatrian Institute di Sukabumi pada
tahun 1940.
Dalam perkembangannya, E.F.E Douwes Dekker ditangkap lagi dan dibuang ke Suriname,
Amerika Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar