Kajian sejarah lingkungan belum banyak dikenal di Indonesia.
Memang pembahasan mengenai aspek-aspek lingkungan dalam analisis sejarah sudah
dijumpai dalam beberapa karya. Satu kajian yang paling berpengaruh adalah
Clifford Geertz (1963). Geertz beragumentasi bahwa permintaan tanah dan tenaga
kerja perkebunan yang meningkat menyebabkan petani Jawa menjadi statis. Alih-alih
bergerak maju, mereka mengalami pertumbuhan tanpa perkembangan akibat kemampuan
pertanian padi untuk menyerap angkatan kerja yang tumbuh seolah tanpa batas. Dengan
penduduk yang terus meningkat dan peluang yang terbatas untuk perluasan tanah
pertanian, proses pembagian kemiskinan (shared poverty) diantara kaum petani
mengahmbat perkembangan pertanian di Jawa.
Pandangan
Geertz melahirkan sejumlah kritik. Kritik atas pandangan Geertz dikemukakan
misalnya oleh Arthur van Schaik (1986). Karya ini membahas kesuburan tanah yang
merosot sebagai bagian dari argumen yang menentang asumsi-asumsi dasar teori
Geertz, khususnya gagasan stabilitas ekologi sawah di Jawa akibat sistem
irigasi yang baik. Kritik juga dilontarkan oleh Anne Booth (1988). Booth menyoroti
ekspansi areal pertanian untuk memperlihatkan perkembangan bertahap sektor
pertanian di Indonesia dan menyanggah teori Geertz.
Demikian pula, Pierre van der
Eng (1996) menyebut isu-isu yang terkait dengan perluasan lahan pertanian ke
dataran tinggi dan bahaya ekologisnya, dan pertimbangan-pertimbangan lingkungan
bagi kaum tani atas pilihan-pilihan tanaman dalam karyanya mengenai pertumbuhan
produktivitas dan dampak kebijakan terhadap pertanian Indonesia. Karya Van der
Eng merupakan bagian dari penentang teori involusi pertanian Geertz. Dalam karyanya
mengenai Tengger, Robert Hefner (1999) secara umum menyinggung dampak
lingkungan yang diakibatkan oleh pertanian komersial. Meskipun isu-isu
lingkungan telah muncul dalam berbagai karya, perlu digaris bawahi di sini
bahwa mayoritas studi yang telah dilakukan lebih menempatkan isu-isu lingkungan
sebagai unsur pendukung atau ilustrasi untuk memperkuat analisis yang mereka
lakukan dan argumentasi yang mereka bangun, ketimbang sebagai fokus utama
pembahasan.
Baru dalam dua dasa warsa
terakhir ranah kajian sejarah lingkungan Indonesia mulai dijelajahi secara
sistematis. Upaya ke arah ini terwujud dalam proyek penelitian sejarah yang
dikerjakan oleh Koninklijk Linguistics voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Royal
Institute of Linguistics and Anthropology, KITLV), Amsterdam Belanda yang
dinamakan EDEN (Ecology, Demography, and Economy in Nusantara) mulai 1992. Proyek
ini dipimpin oleh Prof. Peter Boomgaard. Sejumlah publikasi mengenai sejarah
lingkungan Indonesia sebagai bagian dari Proyek EDEN memberi kontribusi penting
dalam membuka wawasan dan memberi pemahaman lebih baik akan isu-isu menyangkut
hubungan manusia-lingkungan di negeri ini.
Karya yang disunting Peter
Boomgaard, David Henley dan Freek Colombijn (1997) bejudul Paper Landscapes membuka wawasan mengenai sejarah lingkungan. Karya
ini antara lain membahas beragam penggunaan sumber daya hutan di berbagai
tempat terpisah di kepulauan Indonesia. Karya serupa dengan pembahasan yang
lebih berimbang mengenai sumber daya hutan dan maritim, serta dengan lebih
banyak penekanan pada periode kontemporer juga telah dihasilkan, yakni karya
yang disunting Peter Boomgaard, David Henley, dan Manon Osseweijer (2005),
berjudul Muddied Waters.
Dari proyek EDEN juga telah
terbit beberapa monografi penting mengenai sejarah lingkungan. Diantaranya adalah
karya Han Knapen (2001), Forest of
Fortune?, yang membahas tentang sejarah lingkungan di Kalimantan dan karya
David Henley (2005), Fertility, Food and
Fever, mengenai sejarah lingkungan pada suatu daerah di Sulawesi. Karya-karya
ini membuka wawasan mengenai bagaimana proses-proses demografis dan
sosio-ekonomis dikembangkan dan akhirnya mengubah realitas lingkungan di
berbagai tempat di luar Jawa selama periode kolonial. Karya Boomgaard (2001) Frontiers of Fear menyingkap pandangan
mengenai harimau dan hubungan manusia-harimau di Indonesia masa kolonial dan di
Melayu. Selanjutnya tulisan Jet Bakels (1993), mengeksplorasi hubungan manusia
dengan alam liar (wilderness).
Berbagai studi sejarah
lingkungan yang telah ada kebanyakan memusatkan perhatian pada wilayah luar
Jawa. Bungan rampai yang disunting Victor T. King (1998), membahas berbagai
masalah sejarah lingkungan yang terkait dengan citra pertanian dibalik
kebijakan-kebijakan kolonial, adaptasi lingkungan, lingkungan penyakit, dan
perubahan dalam penggunaan tanah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Kebanyakan
artikel dalam bunga rampai rintisan tentang sejarah lingkungan Indonesia
memfokus pada pulau-pulau luar Jawa. Kritik atas perlakuan yang tidak seimbang
dan cenderung berat mengarah ke pulau-pulau luar Jawa dalam konteks kehutanan
juga telah dilontarkan Nancy Lee Peluso (1992).
Tambahan lagi, berbagai kajian
yang ada juga menciptakan kesan kuat bahwa permasalahan lingkungan baru muncul
belakangan ini di Indonesia, tanpa mempunyai akar historis dalam periode
sebelumnya. Dalam kasus kehutanan misalnya, kerusakan hutan sering dikaitkan
dengan kebijakan Orde Baru. Demikian pula, beberapa pengamat lain secara
terpisah mencatat bahwa Revolusi Hijau di bawah Orde Baru menyebabkan
meningkatnya tanah-tanah kritis, polusi air, dan deforestasi. Sementara itu,
Jan Palte (1989) menegaskan bias sawah kebijakan pertanian Orde Baru merupakan
faktor utama yang bertanggung jawab bagi rusaknya lingkungan. Sekalipun hingga
tingkat tertentu pandangan semacam ini mencerminkan kenyataan dan mempunyai
validitas, pemahaman atas sejarah Indonesia yang dihasilkan jauh dari seimbang
antar wilayah dan waktu.
Penulis dan Editor : Endar Mei Candra
Sumber :
Nawiyanto.2012. Pengantar Sejarah Lingkungan.
Jember: UPT Penerbitan UNEJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar