Pura Mandara Giri Semeru Agung (PMGSA) adalah pura yang terdapat di Desa Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Konon, Pura Mandiri Giri Semeru Agung dikenal sebagai tempat sakral dan dituakan kerajaan-kerajaan Hindu Bali. Meskipun baru dibangun tahun 1986, keberadaanya menjadi perhatian umat Hindu dari berbagai tempat, khususnya penganut Hindu Bali. Makanya, tidak heran kalau tempat ini setiap tahunnya menyedot perhatian puluhan ribu orang yang datang untuk melakukan upacara – upacara keagamaan dan sekaligus melakukan kunjungan wisata ritual.
Ketika dibangun, Pura Mandara Giri bermula hanya berada
diatas tanah pekarangan seluas 20 x 60 meter. Setelah
3 tahun kemudian, areal tanah berkembang menjadi dua hektar.
Kini bangunan fisik Pura Mandara Giri Semeru Agung sudah
dilengkapi dengan candi bentar (apit surang) di jaba sisi, dan candi kurung
(gelungkuri) di jaba tengah. Di areal ini dibangun bale patok, bale gong,
gedong simpen, dan bale kulkul. Ada juga pendopo, suci sebagai dapur khusus dan
bale patandingan. Di jeroan, areal utama, ada pangapit lawang, bale ongkara,
bale pasanekan, bale gajah, bale agung, bale paselang, anglurah, tajuk, dan
padmanabha sebagai bangunan suci utama dan sentral.
Di
lokasi agak menurun, di sisi timur, dibangun pasraman sulinggih, bale simpen
peralatan dan dua bale pagibungan selain dapur. Sedangkan di sisi selatan
berdiri wantilan megah dan luas. Panitia juga menyiapkan pembangunan kantor
Sekretariat Parisada, perpustakaan dan gerbang utama waringin lawang.
Hari
Minggu Umanis, Wuku Menail, tanggal 8 Maret 1992, dipimpin delapan pendeta,
digelarlah untuk pertama kalinya upacara Pamlaspas Alit dan Mapulang Dasar
Sarwa Sekar. Dengan begitu status dan fungsi bangunan pun berubah menjadi
tempat suci, pura. Selanjutnya pada bulan Juni - Juli 1992 diaturkan upacara besar
berupa Pamungkah Agung, Ngenteg Linggih, dan Pujawali.
Lewat Surat Keputusan Nomor: 07/Kep/V/PHDI/1992, dengan
memperhatikan hasil pertemuan pihak-pihak instansi, badan dan majelis yang
terkait, di Wantilan Mandapa Kesari Warmadewa, Besakih, tanggal 11 Mei 1992,
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat lantas menetapkan nama, status dan
pengelola pura. Ditetapkan antara lain: nama pura adalah Pura Mandara Giri
Semeru Agung dengan status Pura Kahyangan Jagat, tempat memuja Hyang Widhi
Wasa. Sebagai panyungsung adalah seluruh umat Hindu di Indonesia.
Pemilihan
lokasi pura di lambung Gunung Sumeru tidaklah sembarangan. Ada konsep kuat
melatarinya, dan ini sangat terkait dengan sumber-sumber susastra-agama yang
ada. Antara lain disuratkan, ketika tanah Jawa masih menggang-menggung, belum
stabil, Batara Guru menitahkan para Dewa memenggal puncak Gunung Mahameru dari
tanah Bharatawarsa (India) ke Jawa. Titah itu dilakonkan para Dewa. Puncak
Gunung Mahameru dipenggal, diterbangkan ke tanah Jawa. Jatuh di sisi barat,
tanah Jawa berguncang. Bagian timur berjungkat, sedangkan bagian barat justru
tenggelam.
Potongan
puncak Gunung Mahameru itu pun digotong lagi ke rah timur. Sepanjang perjalanan
dari barat ke bagian timur tanah Jawa, bagian-bagian puncak Gunung Mahameru itu
ada yang rempak. Bagian-bagian yang rempak itu kelak tumbuh menjadi enam gunung
kecil masing-masing Gunung Katong (Gunung Lawu, 3.265 m di atas permukaan
laut), Gunung Wilis (2.169 m), Gunung Kampud (Gunung Kelud, 1.713 m), Gunung
Kawi (2.631 m), Gunung Arjuna (3.339 m), Gunung Kemukus (3.156 m).
Adapun
puncak Mahameru itu kemudian menjadi Gunung Sumeru (3.876 m). Inilah puncak
tertinggi Pegunungan Tengger sekarang -- bahkan menjadi gunung tertinggi
seantero Indonesia -- yang membentuk poros dengan Gunung Bromo atau Gunung
Brahma. Sejak itu tanah Jawa menjadi stabil, tak lagi goyang,
menggang-menggung. Di lambung Gunung Semeru itulah sejak tahun 1992 resmi
berdiri megah Pura Mandara Giri Semeru Agung.
Gunung Semeru |
Tentu
saja panteon pemindahan Gunung Mahameru di tanah Hindu menjadi Gunung Semeru --
begitu nama otentik yang tersuratkan, namun orang-orang kini terbiasa menyebut
Semeru -- di tanah Jawa (Nusantara) itu disuratkan jauh sebelum Pura Mandara
Giri Semeru Agung dibangun.
Dalam
pandangan Hindu Siwaistis yang berpengaruh besar di Nusantara, termasuk Bali
hingga kini, Dewa tertinggi adalah Siwa. Dewa Siwa bersemayam di gunung
tertinggi. Itu berarti di puncak Gunung Mahameru (Himalaya) dalam alam India,
atau puncak Gunung Sumeru dalam alam Nusantara. Teks-teks Purana India yang
tergolong kitab Upaweda (penjelasan lebih lanjut atas Weda) memang menyuratkan
Tuhan Yang Mahatunggal bersemayam di puncak Mahameru -- dikenal pula dengan
nama Gunung Kailasa atau Gunung Himawan, yang bersalju abadi.
Di
puncak gunung yang dikenal juga sebagai pusat padma raya itu Siwa, yang juga
dikenal sebagai Parwataraja Dewa, menurunkan ajaran-ajaran-Nya kepada
sakti-Nya, Dewi Parwati, Dewi Gunung. Ajaran-ajaran itu biasanya disuratkan
dalam bentuk tanya jawab antara Hyang Siwa dengan Dewi Parwati, kemudian
dicatat dalam berbagai Yamala, Damara, Siwasutra, maupun kitab Tantra. Lebih
lanjut, kitab-kitab yang menguraikan perihal ajaran yoga memberikan tuntunan
sangat benderang bahwa bagi seorang sadhaka, dia yang teguh kukuh dan penuh
disiplin menjadikan dirinya sebagai sarana dasar pelaksanaan yoga, puncak
gunung itu ada di sahasrara padma, yakni di puncak ubun-ubun kepala manusia.
Dengan begitu, puncak gunung tiada ubahnya dengan kepala manusia, tempat yang
sangat penting sekaligus sangat patut dijaga kesuciannya.
Baca juga:
1. Tradisi Melasti di Pura Mandara Giri Semeru Agung
2. Video Dokumenter Upacara Adat Melasti, Mecaru, dan Ogoh-Ogoh dalam Menyambut Nyepi di Senduro, Lumajang, Jawa Timur
Baca juga:
1. Tradisi Melasti di Pura Mandara Giri Semeru Agung
2. Video Dokumenter Upacara Adat Melasti, Mecaru, dan Ogoh-Ogoh dalam Menyambut Nyepi di Senduro, Lumajang, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar