Selasa, 24 Maret 2015

Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 23 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

LATAR BELAKANG
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Tentara sekutu memberikan ultimatum pertama dengan alasan untuk menjaga keamanan, mereka menuntut agar Kota Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat-lambatnya pada 29 November 1945. Ancaman-ancaman seperti itu semakin membuat pejuang Indonesia yang ada di daerah Bandung merasa kesal. Pihak sekutu membatasi wilayah di tanah yang jelas-jelas bukan milik mereka dan memerintahkan warga Bandung mengosongkan wilayah Bandung.
Batas kota bagian utara dan selatan yang harus dikosongkan adalah rel kereta api yang melintasi Kota Bandung. Para pejuang Republik Indonesia tidak mau mengindahkan ultimatum Sekutu tersebut. Sejak saat itu, sering terjadi insiden antara pasukan sekutu dan pejuang Republik. Insiden tersebut seperti sebuah rangkaian peristiwa pertempuran Bandung Lautan Api yang jauh lebih dahsyat. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya pada 25 November 1945, rakyat Bandung ditimpa musibah, yakni banjir besar akibat meluapnya Sungai Cikapundung. Bencana alam tersebut menelan ratusan korban yang dihanyutkan derasnya arus sungai. Ribuan penduduk Bandung juga kehilangan tempat tinggal. 
Keadaan tersebut justru dimanfaatkan tentara sekutu dan Belanda atau NICA (Netherland Indies Civil Administration). Mereka menyerang rakyat yang sedang tertimpa musibah. Pada 5 Desember 1945, pesawat-pesawat tempur Inggris mengebom daerah Lengkong Besar. Dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh para tentara sekutu, persenjataan lengkap, semuanya serba terbaru, mereka menyerang warga Bandung yang saat itu tengah dilanda musibah banjir.
Tentara sekutu mengeluarkan ultimatum kedua pada 23 Maret 1946. Kali ini, mereka menuntut Tentara Republik Indonesia (TRI) mengosongkan seluruh kota Bandung. Pemerintah Republik Indonesia memerintahkan agar TRI mengosongkan Kota Bandung. Menteri Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifuddin tiba di Bandung dengan perintah kepada TRI untuk mengundurkan diri dari Kota Bandung. Sementara itu, dari Markas TRI di Jogjakarta datang perintah yang berbeda. Tentara Republik Indonesia dinstruksikan untuk tidak meninggalkan Kota Bandung. Walau dengan berat hati, TRI di Bandung akhirnya mematuhi perintah dari Jakarta. Akan tetapi, sebelum meninggalkan Kota Bandung, para pejuang Republik melancarkan serangan ke arah kedudukan-kedudukan tentara Sekutu. Hal tersebut bukan lantas menghentikan perjuangan warga Bandung untuk mempertahankan wilayahnya. Membela dengan cara lain pun dilakukan, pertempuran Bandung Lautan Api menjadi salah satu cara peristiwa dari cara yang dipilih.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Selain menyerang kedudukan tentara sekutu, para pejuang juga membumihanguskan Kota Bandung bagian selatan. Pembumihangusan Kota Bandung diputuskan melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) pada 24 Maret 1946. Keputusan musyawarah tersebut diumumkan oleh Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Panglima Divisi III/ Priangan dan meminta rakyat untuk meninggalkan kota. Peristiwa Bandung Lautan Api dilakukan dengan banyak pertimbangan, mengingat akibat yang akan dirasakan oleh warganya. Bersama rakyat, TRI sengaja membakar kota mereka. Udara Kota Bandung yang biasanya sejuk dipenuhi asap hitam yang membubung tinggi dan listrik di Kota Bandung juga mati.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pasukan sekutu pun mulai menyerang yang mengakibatkan pertempuran sengit karena para pejuang memberikan perlawanan hebat. Di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, pertempuran paling dahsyat terjadi karena terdapat gudang mesiu yang dikuasai sekutu. Para pejuang bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Dua orang pemuda, Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan diperintahkan untuk meledakkan gudang mesiu di Dayeuhkolot dan berhasil meledakkannya dengan menggunakan granat tangan. Dalam peristiwa tersebut Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan gugur karena ikut terbakar bersama gudang mesiu yang mereka ledakkan.
Muhammad Toha.jpg
Muhammad Toha
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.

ASAL ISTILAH
Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembumihangusan tersebut. Jenderal A.H Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris tersebut.
"Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air."-A.H Nasution, 1 Mei 1997
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul "Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api".

MONUMEN BANDUNG LAUTAN API
Monumen Bandung Lautan Api, merupakan monumen yang menjadi markah tanah Bandung. Monumen ini setinggi 45 meter, memiliki sisi sebanyak 9 bidang. Monumen ini dibangun untuk memperingati peristiwa Bandung Lautan Api, dimana terjadi pembumihangusan Bandung Selatan yang dipimpin oleh Muhammad Toha.
Monumen Bandung lautan api.jpg
Monumen ini berada di tengah-tengah kota yaitu terletak di kawasan Lapangan Tegallega. Monumen ini menjadi salah satu monumen terkenal di Bandung. Monumen ini menjadi pusat perhatian setiap tanggal 23 Maret mengenang peristiwa Bandung Lautan Api.

7 komentar:

  1. perjuangan bangsa sungguh sangat membuat saya merinding
    www.sepatusafetyonline.com

    BalasHapus
  2. terima kasih. membantu presentasi saya dan teman-teman saya.

    BalasHapus
  3. Terimakasih sudah pos kan tentang sejarah bandung, sehingga kita tau asal usul seuseupuh kita dulu rela berkorban demi kota bandung , nuhun

    BalasHapus