A.
Sunan Kudus
- Jati Diri dan Nasab Sunan Kudus
Nama Ja'far
Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang
beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad.
Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia berasal dan lahir di
Al-Quds negara Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan kerabatnya berhijrah
ke Tanah Jawa.
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden
Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom
Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah
keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal
Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad
Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Babad Tanah Jawi
(selanjutnya disebut BTJ) adalah terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi
Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di
Leiden, Belanda, pada tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di
sini terdapat cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.
“…Orang di tanah
Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah akan mendirikan
masjid di Demak. Para wali saling berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya
Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk,
sebab sedang tirakat di Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan
didirikan. Sunan Kali Jaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah
menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1 bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan
sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid searah dengan ka’bah di Mekkah.
Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika para
wali sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk
bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit
kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.”
“Pada waktu itu
banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan.
Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan
Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata,
dan Sultan Pajang. Yang paling disayang adalah Arya Penansang.
Waktu itu Sunan
Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran Arya Penansang, Sunan
Kudus berkata kepada Arya Penansang, “Orang membunuh sesama guru itu, hukumnya
apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang, “Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya
belum tahu siapa yang berbuat demikian itu.” Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di
Prawata.” Arya Penansang setelah mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia
membunuh Sunan Prawata. Ia lalu mengutus abdi pengawalnya bernama Rangkud dan
diperintah untuk membunuh Sunan Prawata. Rangkud lalu berangkat. Sesampai di
Prawata ketemu dengan Sunan Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada
istrinya. Setelah melihat Rangkud Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang
siapa?” Rangkud menjawab, “Saya adalah utusan Arya Penansang, memerintahkan
untuk membunuhmu.” Sunan Prawata berkata, “Ya, terserah, tetapi saya sendiri
sajalah yang engkau bunuh, jangan mengikutkan orang lain.” Rangud lalu menusuk
sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai ke punggungnya serta menembus
dada istrinya. Sunan Prawata setelah melihat istrinya terluka, segera mencabut
kerisnya yang bernama Kyai Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud
tergores oleh kembang kacang (hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah
lalu tewas. Sunan Prawata dan isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya
ber-sinengkalan tahun 1453. Arya Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata
sebab ayahnya juga dibunuh oleh Sunan Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at.
Ia dicegat di tengah jalan oleh utusan Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura
Yata tadi juga sudah dibunuh oleh teman ayahnya Arya Jipang.
Sunan Prawata
tadi mempunyai saudara perempuan namanya Ratu Kali Nyamat. Dia begitu tidak
terima atas kematian saudara laki-lakinya itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama
suaminya berniat minta keadilan kepada Sunan Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus,
“Kakakmu itu sudah hutang pati pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar
hutang itu saja.” Ratu Kali Nyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat
sakit hatinya. Lalu kembali pulang. Di tengah jalan dibegal utusannya Arya
Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali Nyamat sangat terpukul hatinya.
Sebab baru saja kehilangan saudaranya, lalu kehilangan suaminya. Ia jadi sangat
menderita. Lalu bertapa telanjang di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti kain untuk
menutup auratnya adalah rambutnya yang diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia
tidak mau memakai kain selama hidup jika Arya Penansang belum meninggal. Ia
bernadar barangsiapa dapat membunuh Arya Jipang, dia akan mengabdi kepadanya
dan akan menyerahkan seluruh kekayaannya.
Pada suatu
ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang dengan Arya Penangsang, Sunan
Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali Nyamat sekarang sudah mati, tapi
belum lega rasanya kalau belum menguasai tanah Jawa semua. Jika masih ada
adikmu Sultan Pajang saya kira tidak mungkin bisa jadi raja, sebab dia adalah
penghalang.” Arya Penansang berkata, “Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus,
Pajang akan saya gempur dengan perang, adik saya di Pajang akan saya bunuh
supaya tidak ada penghalang.” Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu saya kurang
setuju sebab akan merusak negara serta banyak korban. Adapun maksud saya,
kakakmu di Pajang bisa mati, secara diam-diam saja, jangan diketahui banyak
orang.” Arya Penangsang menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi pengawal
untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang. Utusan segera berangkat. Datang di
Pajang tengah malam, lalu masuk ke dalam istana. Sultan Pajang sedang tidur
berselimut kain kampuh, jarik/kain sarung. Para istrinya tidur di bawah. Utusan
menerjang dan menusuk dengan sekuat tenaga. Sultan Pajang tidak mempan (kebal),
masih enak tidur saja. Kain yang digunakan untuk berselimut itu pun tidak
tertembus. Para isrti terkejut, bangun, menangis, dan menjerit. Sultan Pajang
terkejut juga dan bangun. Kain selimut terlempar menerpa para utusan itu,
mereka terjatuh terkapar di tanah, tidak ada yang dapat pergi….”
Sunan Kudus
berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah islamiyahnya yang dikenal
dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat nampak jelas pada
Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam
yang sering dikatakan sebagai representasi menara multikultural. Aspek material
dari Menara Kudus yang membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi
pencitraan tehadap Sunan Kudus. Oleh Roland Barthes disebut dengan mitos
(myth), yang merupakan system komunikasi yang memuat pesan (sebuah bentuk
penandaan). Ia tak dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi cara penuturan
pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat ditemui pada peninggalan benda cagar
budayanya, juga bisa ditemukan di dalam sejarah, gambar, legenda, tradisi,
ekspresi seni maupun cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat
Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali yang toleran, ahli ilmu, gagah
berani, kharismatik, dan seniman.
Satu fakta utama
yang dapat masyarakat lihat pada mata uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar
Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia
yang dijabat oleh Arifin Siregar pada masa itu. Berikut petikan sambutannya:
“…Kami sewaktu bertugas sebagai Gubernur Bank Indonesia mendapat kesempatan
untuk mengeluarkan uang kertas Lima Ribu Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal
ini kami lakukan antara lain mengingat keindahan dan kenggunan Menara Kudus.
Disamping itu Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah Indonesia
yang perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga
khalayak luar negeri.”
Mengenai hari
jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990
yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang tak bisa dilepaskan dari
patriotisme Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya dapat dilihat dalam inskripsi
yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus yang dibangun pada 956 H/1549
M oleh Sunan Kudus. Maka dalam setiap perayaan hari jadinya tak pernah lupa
semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan rakyat dan ummatnya.
Menurut Muliadi
via Castles (1982); Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992),
menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama
dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan
khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus;
serta merupakan pusat tempat berdirinya rumah-rumah asli (adat pencu).
Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Sungai Gelis, dan merupakan
daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat perdagangan.”
Salah satu bentuknya
ialah tarian Buka Luwur yang menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat Kudus
sepeninggal Sunan Kudus hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus.
Tradisi ini telah menjadi kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal
10 Muharram dengan dukungan umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini
merupakan prosesi pergantian kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa
dan pembacaan kalimah toyyibah (tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat
pendek al-quran yang sebelumnya telah didahului dengan khataman quran secara
utuh).
Ada lagi tradisi
Dhandangan yang digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa
Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus
(berbunyi dhang dhang dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan
Kudus. Selain itu masyarakat Kudus hingga saat ini tak pernah berani
menyembelih sapi/lembu sebagai suatu penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana
dakwahnya menekankan unsure kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu masyarakat
Kudus masih beragama Hindu yang menyucikan hewan lembu. Kini, setiap Kamis
malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan beragam latar
beragam latar belakang dan etnis, dari berbagai daerah. Mereka datang dengan
beragam cara, baik sendiri maupun bersama rombongan. Pada momen-momen tertentu
ada yang datang dari mancanegara.
Fenomena
pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk
beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan yang bermakna” baik keberagamaan
maupun fenomena budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah
melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal
mereka. Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui
dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam).
Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki
warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga
menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu
identitas kultural).
- Dakwah Sunan Kudus
Beliau adalah
Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Beliau pula yang menjadi
salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok
Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya.
Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi
pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang toleran.
Tak heran, jika
hingga sekarang makam beliau yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai
diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal
tersebut sebagai bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman
dan justru semakin relevan ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama
yang semakin marak dewasa ini.
Dalam perjalanan
hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya
pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan
lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.
Beberapa nilai
toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan
melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk
menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di
halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan
Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu
menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi
Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh beliau.
Lama-kelamaan,
bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus
mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan
menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih
sapi.
Selain berdakwah
lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat
pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan
sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca
sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari
ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi
pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal
Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa
menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah,
melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan
bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut
difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul
bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan
menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark
Kabupaten Kudus.
Strategi
(akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya.
Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu
belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.
Kini, toleransi
beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi
barang mahal tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali
esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa
mengembalikan lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya
dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran Toleransi Ala Sunan Kudus
Pada tahun 1550 M Sunan Kudus meninggal dunia saat
menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian
dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.
B.
Masjid Agung Kudus
- Sejarah Berdirinya
Berdirinya
Masjid Menara Kudus tidak lepas dari peran Sunan Kudus sebagai
pendiri dan pemrakarsa. Sebagaimana parawalisongo yang lainnya,
Sunan Kudus memiliki cara yang amat bijaksana dalam dakwahnya. Di antaranya,
beliau mampu melakukan adaptasi dan pribumisasi ajaran Islam di tengah
masyarakat yang telah memiliki budaya mapan dengan mayoritas beragama Hindu dan
Budha. Pencampuran budaya Hindu dan Budha dalam dakwah yang dilakukan
Sunan Kudus, salah satunya dapat kita lihat pada masjid Menara Kudus ini.
Masjid ini
didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini
dapat diketahui dari inskripsi (prasasti) pada batu yang lebarnya 30 cm dan
panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid yang
ditulis dalam bahasa Arab.
a.
Masjid
Masjid Menara Kudus ini memiliki 5 buah pintu sebelah
kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu
besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari
kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar dari
semula karena pada tahun 1918-an telah direnovasi. Di dalamnya terdapat kolam
masjid, kolam yang merupakan "padasan" tersebut
merupakan peninggalan kuna dan dijadikan sebagai tempat wudhu.
Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak
di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah.
Di serambi depan masjid
terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut
oleh penduduk sebagai "Lawang Kembar".
Di komplek Masjid juga terdapat pancuran untuk wudhu
yang berjumlah delapan buah. Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah
delapan pancuran, konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni ‘Delapan Jalan
Kebenaran’ atau Asta
Sanghika Marga.
b.
Menara
Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 meter
dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan
piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di
antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12
buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat
tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin
dibuat pada tahun 1895 M. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya
hubungan dengan kesenian Hindu Jawa karena bangunan Menara Kudus itu
terdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2) badan, dan (3) puncak bangunan. Menara ini
dihiasi pula antefiks (hiasan yang
menyerupai bukit kecil).
Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi
Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan
material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi
tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk
suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang
dua tumpuk atap tajug.
Pada bagian puncak atap
tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada
unsur arsitektur Jawa-Hindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar