Perang
Diponegoro (Inggris:The
Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang
besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia),
antara pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral
De Kock melawan
penduduk pribumi Indonesia dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Perang Diponegoro tidak berakhir hanya begitu
saja. Banyak sekali dampak yang diakibatkan setelah berakhirnya Perang
Diponegoro ini kepada pemerintah Hindia-Belanda. Selain itu, Yogyakarta dan
Surakarta juga mendapat imbas dari berakhirnya Perang Diponegoro ini.
2.1.Keadaan
awal di yogyakarta dan surakarta pasca perang diponegoro
Suatu perjanjian yang ditandatangani
pada tahun 1831 antara Sultan dengan pemerintahan Belanda, seusai perang 5
tahun melawan Belanda, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dari Yogya
mengakibatkan hilangnya seluruh mancanagara milik Yogyakarta, oleh karena itu
daerah ini dipisahkan darinya dan disatukan dengan wilayah Hindia-Belanda yang
diperintah langsung oleh Belanda, untuk itu pemerintah Hindia Belanda setuju
membayar ganti rugi tahunan berupa uang kepada Sultan.[1]
Ada banyak sekali usaha-usaha yang
dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda dalam mencegah terjadinya
perlawanan-perlawanan yang akan datang. Di Yogyakarta pemerintah Hindia-Belanda
mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono
V dan penerus-penerusnya diangkat sebagai Mayor Jenderal Tituler Kerajaan
Belanda dan tetap memegang kekuasaan atas Kraton dengan pengawasan seorang
Gubernur Belanda yang berkedudukan di dekat Kraton. Sementara pasukan Kraton
dikurangi jumlahnya dan tidak boleh lebih dari 500 orang. Hal yang sama juga
diberlakukan di Surakarta.
Selain itu untuk
mencegah munculnya kembali perlawanan dari Diponegoro-Diponegoro baru,
kebijakan-kebijakan Belanda di Yogyakarta dan Surakarta diperlunak, kedua
kerajaan-kerajaan itu diberi status Vorstenlanden (daerah istimewa) di mana kedua daerah
itu menjadi daerah bebas pajak. Kraton diberi hak untuk mengurusi pajak dan
raja dari Surakarta dan Yogyakarta digaji oleh pemerintah Belanda, sementara
birokrat-birokrat kraton akan dibayar oleh kraton sendiri.
2.1.hubungan-hubungan
eksternal
Hanya dalam beberapa kesempatan
saja di sepanjang periode 1830-1834
hubungan-hubungan diplomatik dibicarakan di Yogya. Tidak ada indikasi bahwa
Yogya menjalin hubungan langsung dengan raja-raja Indonesia lainnya, kecuali
dengan Susuhunan di Solo. Seandainya ada pun, hubungan-hubungan semacam itu
diduga dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan Belanda.[2]
Sudah menjadi kebiasaan di Asia
untuk tukar hadiah dan cindera mata antar penguasa kerajaan atau negara jika sedang
berkunjung ke salah satu kerajaan atau negara. Seperti acara kunjungan gubernur
jenderal ke keraton-keraton Jawa, biasanya dilakukan tukar menukar hadiah. Tukar
menukar tanda mata ini, berdasarkan prinsip saling berbalas (resiproritas),
mensyaratkan bahwa pembesar-pembesar Belanda harus “mengembalikan”
hadiah-hadiah dengan nilai setara dengan yang diberikan kepada mereka.[3]
2.2.Intervensi
belanda dalam berbagai urusan kerajaan-kerajaan jawa
Pada bulan Mei 1833 Valck
menyampaikan sebuah surat dari Jenderal F.D. Cochius untuk Dewan Kerajaan ,
yang isinya jenderal tersebut mengumumkan bahwa pendudukan benteng-benteng di
Pisangan, Sentolo, dan Randhagunting oleh para prajurit harus diakhiri.[4]
Setelah surat itu tiba, Residen Yogya berhasil meyakinkan pemerintah Jawa
bahwasanya di masa yang akan datang benteng-benteng ersbut harus diisi oleh
para tentara atau pembantu-pembantu
Sultan atas biaya sendiri.
Pada tahun 1831 pengadilan pidana
ditempatkan di bawah kekuasaan residen. Perjanjian yang mengenai pengadilan
pidana ini sendiri sudah ditandatangai dengan Sunan dan Mangkunagara.
Setelah adanya perjanjian yang
sudah ditandatangani oleh Sunan dan Magkunagara tentang pengadilan pidana,
pihak residen juga menginginkan adanya perjanjian serupa antara gubernur dan
Sultan. Dalam perjanjian ini terdapat pernyataan yang mengakatan bahwa rakyat,
Sultan, Paku Alam, dan Natapraja akan diadili dihadapan pengadilan-pengadilan
residen yang bersangkutan bila mereka melakukan tindak kejahatan di wilayah kekuasaan
pemerintah.
2.3.Pemerintahan
di dalam kerajaan pasca perang diponegoro
2.3.1. Pemerintah
Internal Jawa
Sebuah dampak akibat berakhirnya
Perang Diponegoro yang terlihat adalah Belanda ikut campur di dalam kegiatan
pemerintahan internal kerajaan baik itu di Yogyakarta maupun di Surakarta.
Sebagai contohnya adalah Belanda ikut campur dalam urusan pengangkatan,
pemecatan, dan pembayaran staf keraton, keuangan, serta pemanfaatan lahan, dan
tanah secara tepat.
2.3.2. Kekuasaan
atas tanah
Pembagian dan kekuasaan atas tanah merupakan salah satu dari
tugas-tugas dasar dalam pemerintahan Jawa Tengah. Penyerahan wilayah
kekuasaanpada tahun 1830 menuntut adanya reorganisasi total terhadap sistem
tersebut.[5]
Sebelumnya, pengelolaan atas tanah sewaan diserahkan kepada tujuh orang temenggung
dan tiga diantaranya adalah pengampu. Relokasi pasca-1830 atas tanah-tanah
lungguh di dalam wilayah kekuasaan Yogyakarta itu berarti dipecah-pecahnya
tanah-tanah yang ada.
Bukan hanya ditata ulang, tetapi aturan-aturan dan
syarat-syarat yang diberikan serta dapat dieksploitasinya tanah-tanah tersebut
juga ditetapkan dan diterapkan secara ketat. Syarat-syarat yang memperbolehkan
disewakannya tanah-tanah tersebut kepada orang-orang non-Jawa juga ditetapkan.
2.3.3. Urusan-urusan
keuangan
Pada awal tiap tahun, Valck menyodorkan kepada para pengampu
sebuah neraca pendapatan dan belanja pemerintah Yogya sepanjang tahun yang baru
saja berakhir. Saat dipresentasikan, dilaporkan bahwa suplai dana kas di kantor
keresidenan sudah habis dikarenakan kurangnya pemasukan dari sektor pajak.
Urusan-urusan keuangan Kesultanan Yogyakarta banyak
terbebani oleh biaya-biaya pemeliharaan bangunan keraton itu sendiri dan
rumah-rumah para pangeran.[6]
Beberapa waktu kemudian para kerabat kerajaan dan pejabat lainnya juga diberi
uang untuk memperbaiki rumah mereka masing-masing.
Salah satu dari masalah besar yang sudah dihadapi oleh para
komisaris sejak tahun 1830 adalah utang-utang para warga istana-istana Jawa.
Pada tahun 1830 total utang Keraton Solo mencapai lebih dari 1,6 juta gulden.
Sebagian, utang itu berupa ganti rugi yang belum terbayar yang diminta oleh
orang-orang Eropa penyewa tanah milik orang-orang Jawa itu ketika penyewaan
tanah dihapuskan pada tahun 1823.[7]
2.3.4. Ikut
campurnya Belanda dalam masalah suksesi kerajaan di Solo
Pada
tahun 1834 Paku Buwana VII, yang naik tahta setelah kaburnya Paku Buwana VI
pada tahun 1830, memasuki apa yang dari sudut pandang orang Jawa merupakan
sebuah perkawinan yang sangat penting dengan putri Sultan Cakradiningrat II
dari Madura, Raden Ayu Sarijah. [8]
Setalah meninggalnya
Panembahan Buminata pada tangal 11 Oktober 1834, Pejabat Residen F.G. Valck
mendesak agar suksesi kerajaan itu segera diselesaikan. Dia merekomendasikan agar
Pengeran Adipati Ngabehi, kakak Paku Buwana VII, diangkat sebagai caretaker
jabatan putra mahkota.
[1] Selo Soemardjan, Perubahan
Sosial di Yogyakarta, penerjemah H.J. Koesoemanto dan Mochtar Pabotingi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1986), hlm.31
[2] Vincent J.H. Houben,
Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870, penerjemah E.
Setiyawati Alkhatab (Jogjakarta: Bintang Budaya, 2002), hlm. 314
[3] Ibid, 314
[4] Ibid, 316
[5] Ibid., 319
[6] Ibid.,332
[7] Ibid.,345
[8] Ibid., 385
Tidak ada komentar:
Posting Komentar