Minggu, 29 Juni 2014

Pasca Perang Diponegoro “Keadaan Yogyakarta dan Surakarta Pasca Perang Diponegoro Tahun 1830-1834”

       Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi Indonesia dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
           Perang Diponegoro tidak berakhir hanya begitu saja. Banyak sekali dampak yang diakibatkan setelah berakhirnya Perang Diponegoro ini kepada pemerintah Hindia-Belanda. Selain itu, Yogyakarta dan Surakarta juga mendapat imbas dari berakhirnya Perang Diponegoro ini.


2.1.Keadaan awal di yogyakarta dan surakarta pasca perang diponegoro
Suatu perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1831 antara Sultan dengan pemerintahan Belanda, seusai perang 5 tahun melawan Belanda, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dari Yogya mengakibatkan hilangnya seluruh mancanagara milik Yogyakarta, oleh karena itu daerah ini dipisahkan darinya dan disatukan dengan wilayah Hindia-Belanda yang diperintah langsung oleh Belanda, untuk itu pemerintah Hindia Belanda setuju membayar ganti rugi tahunan berupa uang kepada Sultan.[1]
Ada banyak sekali usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda dalam mencegah terjadinya perlawanan-perlawanan yang akan datang. Di Yogyakarta pemerintah Hindia-Belanda mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono V dan penerus-penerusnya diangkat sebagai Mayor Jenderal Tituler Kerajaan Belanda dan tetap memegang kekuasaan atas Kraton dengan pengawasan seorang Gubernur Belanda yang berkedudukan di dekat Kraton. Sementara pasukan Kraton dikurangi jumlahnya dan tidak boleh lebih dari 500 orang. Hal yang sama juga diberlakukan di Surakarta.
Selain itu untuk mencegah munculnya kembali perlawanan dari Diponegoro-Diponegoro baru, kebijakan-kebijakan Belanda di Yogyakarta dan Surakarta diperlunak, kedua kerajaan-kerajaan itu diberi status Vorstenlanden (daerah istimewa) di mana kedua daerah itu menjadi daerah bebas pajak. Kraton diberi hak untuk mengurusi pajak dan raja dari Surakarta dan Yogyakarta digaji oleh pemerintah Belanda, sementara birokrat-birokrat kraton akan dibayar oleh kraton sendiri.


2.1.hubungan-hubungan eksternal
Hanya dalam beberapa kesempatan saja  di sepanjang periode 1830-1834 hubungan-hubungan diplomatik dibicarakan di Yogya. Tidak ada indikasi bahwa Yogya menjalin hubungan langsung dengan raja-raja Indonesia lainnya, kecuali dengan Susuhunan di Solo. Seandainya ada pun, hubungan-hubungan semacam itu diduga dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan Belanda.[2]
Sudah menjadi kebiasaan di Asia untuk tukar hadiah dan cindera mata antar penguasa kerajaan atau negara jika sedang berkunjung ke salah satu kerajaan atau negara. Seperti acara kunjungan gubernur jenderal ke keraton-keraton Jawa, biasanya dilakukan tukar menukar hadiah. Tukar menukar tanda mata ini, berdasarkan prinsip saling berbalas (resiproritas), mensyaratkan bahwa pembesar-pembesar Belanda harus “mengembalikan” hadiah-hadiah dengan nilai setara dengan yang diberikan kepada mereka.[3]
2.2.Intervensi belanda dalam berbagai urusan kerajaan-kerajaan jawa
Pada bulan Mei 1833 Valck menyampaikan sebuah surat dari Jenderal F.D. Cochius untuk Dewan Kerajaan , yang isinya jenderal tersebut mengumumkan bahwa pendudukan benteng-benteng di Pisangan, Sentolo, dan Randhagunting oleh para prajurit harus diakhiri.[4] Setelah surat itu tiba, Residen Yogya berhasil meyakinkan pemerintah Jawa bahwasanya di masa yang akan datang benteng-benteng ersbut harus diisi oleh para  tentara atau pembantu-pembantu Sultan atas biaya sendiri.
Pada tahun 1831 pengadilan pidana ditempatkan di bawah kekuasaan residen. Perjanjian yang mengenai pengadilan pidana ini sendiri sudah ditandatangai dengan Sunan dan Mangkunagara.
Setelah adanya perjanjian yang sudah ditandatangani oleh Sunan dan Magkunagara tentang pengadilan pidana, pihak residen juga menginginkan adanya perjanjian serupa antara gubernur dan Sultan. Dalam perjanjian ini terdapat pernyataan yang mengakatan bahwa rakyat, Sultan, Paku Alam, dan Natapraja akan diadili dihadapan pengadilan-pengadilan residen yang bersangkutan bila mereka melakukan tindak kejahatan di wilayah kekuasaan pemerintah.
2.3.Pemerintahan di dalam kerajaan pasca perang diponegoro
2.3.1.      Pemerintah Internal Jawa
Sebuah dampak akibat berakhirnya Perang Diponegoro yang terlihat adalah Belanda ikut campur di dalam kegiatan pemerintahan internal kerajaan baik itu di Yogyakarta maupun di Surakarta. Sebagai contohnya adalah Belanda ikut campur dalam urusan pengangkatan, pemecatan, dan pembayaran staf keraton, keuangan, serta pemanfaatan lahan, dan tanah secara tepat.
2.3.2.      Kekuasaan atas tanah
Pembagian dan kekuasaan atas tanah merupakan salah satu dari tugas-tugas dasar dalam pemerintahan Jawa Tengah. Penyerahan wilayah kekuasaanpada tahun 1830 menuntut adanya reorganisasi total terhadap sistem tersebut.[5] Sebelumnya, pengelolaan atas tanah sewaan diserahkan kepada tujuh orang temenggung dan tiga diantaranya adalah pengampu. Relokasi pasca-1830 atas tanah-tanah lungguh di dalam wilayah kekuasaan Yogyakarta itu berarti dipecah-pecahnya tanah-tanah yang ada.
Bukan hanya ditata ulang, tetapi aturan-aturan dan syarat-syarat yang diberikan serta dapat dieksploitasinya tanah-tanah tersebut juga ditetapkan dan diterapkan secara ketat. Syarat-syarat yang memperbolehkan disewakannya tanah-tanah tersebut kepada orang-orang non-Jawa juga ditetapkan.
2.3.3.      Urusan-urusan keuangan
Pada awal tiap tahun, Valck menyodorkan kepada para pengampu sebuah neraca pendapatan dan belanja pemerintah Yogya sepanjang tahun yang baru saja berakhir. Saat dipresentasikan, dilaporkan bahwa suplai dana kas di kantor keresidenan sudah habis dikarenakan kurangnya pemasukan dari sektor pajak.
Urusan-urusan keuangan Kesultanan Yogyakarta banyak terbebani oleh biaya-biaya pemeliharaan bangunan keraton itu sendiri dan rumah-rumah para pangeran.[6] Beberapa waktu kemudian para kerabat kerajaan dan pejabat lainnya juga diberi uang untuk memperbaiki rumah mereka masing-masing.
Salah satu dari masalah besar yang sudah dihadapi oleh para komisaris sejak tahun 1830 adalah utang-utang para warga istana-istana Jawa. Pada tahun 1830 total utang Keraton Solo mencapai lebih dari 1,6 juta gulden. Sebagian, utang itu berupa ganti rugi yang belum terbayar yang diminta oleh orang-orang Eropa penyewa tanah milik orang-orang Jawa itu ketika penyewaan tanah dihapuskan pada tahun 1823.[7]
2.3.4.      Ikut campurnya Belanda dalam masalah suksesi kerajaan di Solo
Pada tahun 1834 Paku Buwana VII, yang naik tahta setelah kaburnya Paku Buwana VI pada tahun 1830, memasuki apa yang dari sudut pandang orang Jawa merupakan sebuah perkawinan yang sangat penting dengan putri Sultan Cakradiningrat II dari Madura, Raden Ayu Sarijah. [8]
Setalah meninggalnya Panembahan Buminata pada tangal 11 Oktober 1834, Pejabat Residen F.G. Valck mendesak agar suksesi kerajaan itu segera diselesaikan. Dia merekomendasikan agar Pengeran Adipati Ngabehi, kakak Paku Buwana VII, diangkat sebagai caretaker jabatan putra mahkota.




[1] Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, penerjemah H.J. Koesoemanto dan Mochtar Pabotingi  (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986), hlm.31
[2] Vincent J.H. Houben, Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870, penerjemah E. Setiyawati Alkhatab (Jogjakarta: Bintang Budaya, 2002), hlm. 314
[3] Ibid, 314
[4] Ibid, 316
[5] Ibid., 319
[6] Ibid.,332
[7] Ibid.,345
[8] Ibid., 385

Tidak ada komentar:

Posting Komentar