Selasa, 09 September 2014

Budi Utomo

Situasi sosial ekonomi di Jawa pada abad XIX semakin buruk setelah berganti-ganti dilaksanakan eksploitasi kolonial tradisional, liberal, dan etis. Semakin derasnya westernisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial maka perubahan sosial masyarakat tidak dapat dibendung lagi. Di satu pihak batig saldo yang diperoleh pemerintah dialirkan ke Belanda dan di pihak lain kemelaratan dan kesengsaraan makin dalam melekat di hati msayarakat Indonesia.


dr. Wahidin Sudirohusodo

Sebagai akibat dari politik etis yang di dalamnya terkandung usaha memajukan pengajaran maka pada dekade pertama abad XX bagi anak-anak Indonesia masih mengalami hambatan kekurangan dana belajar. Keadaan yang demikian ini menimbulkan keprihatinan dr. Wahidin Sudirohusodo untuk dapat menghimpun dana itu maka pada tahun 1906-1907 melakukan propaganda keliling Jawa. Rupanya ide yang baik dari dr. Wahidin itu diterima dan dikembangkan oleh Sutomo, seorang mahasiswa School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten (STOVIA) dan dari sinilah awal perkembangannya menuju keharmonisan bagi tanah dan orang Jawa dan Madura. Akhirnya, Sutomo dan rekan-rekannya mendirikan BU di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908.
Untuk merealisasikannya diperlukan pengajaran bagi orang Jawa agar mendapatkan kemajuan dan tidak dilupakan usaha membangkitkan kembali kultur Jawa; jadi, antara tradisi, kultur dan edukasi Barat dikombinasikan.
Corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern dalam arti bahwa organisasi itu mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas, dan anggota. Yang sangat menarik pada BU karena organisasi ini diikuti oleh organisasi lainnya dan dari sinilah terjadinya perubahan sosio-politik.
Reaksi yang kurang enak dating dari orang Belanda yang tidak senang akan kelahiran ”Si Molek” dan mengatakan bahwa orang Jawa makin banyak “cingcong”. Tetapi ada juga pendapat kelompok etis yang mengatakan BU lahir wajar dan itu merupakan renaissance di Timur (oostersche renaiscance) dalam arti luas kebangkitan budaya timur. Dikalangan priyayi gedhe yang sudah mapan tidak senang terhadap lahirnya Budi Utomo sehingga para Bupati membentuk perkumpulan Regenten Bond Setia Mulia pada tahun 1908 din Semarang untuk mencegah cita-cita BU yang menggangu stabilitas smereka. Sebaliknya di kalangan Bupati progresif seperti Tirtokusumo dari Karang Anyar sangat mendukung BU.
dr. Soetomo
Pancaran etnonasionalisme makin membesar dan ini dibuktikan dalam kongres BU yang diselenggarakan pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Dalam waktu singkat dalam BU terjadi perubahan orientasi. Kalau semula orientasinya terbatas pada kalangan priyayi maka menurut edaran yang dimuat dalam Bataviaasch Nieuwblads tanggal 23 Juli 1908, BU cabang Jakarta mulai menekankan cara baru bagaimana memperbaiki kehidupan rakyat. Di dalam kongres itu terdapat dua prinsip perjuangan, yang pertama diwakili golongan muda cenderung menempuh jalan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial, sedangkan yang kedua, diwakili oleh golongan tua yang ingin tetap ada cara lama yaitu perjuangan sosio-kultural. Bagi golongan muda perjuangannya itu sangat tepat guna memberikan imbangan politik pemerintah. Orientasi politik semakin menonjol dan kalangan muda mencari oraganisasi yang sesuai dengan mendirikan Sarikat Islam (SI), Indische Partij (IP) sebagai wadahnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun ada kelompok muda yang radikal, tetapi kelompok tua masih meneruskan cita-cita BU yang mulai disesuaikan dengan perkembangan politik. Pada tahun 1914 ketika pecah Perang Dunia I BU turut memikirkan cara mempertahankan Indonesia dari serangan luar dengan mengadakan milisi yang diberi wadah dalam Komite Pertahanan Hindia (Comite Indie Weebaar). Pada waktu dibentuk Dewan Rakyat (Volksraads) pada tahun 1918 wakil-wakil BU duduk di dalamnya yang jumlahnya cukup banyak dan hal ini karena pemerintah tidak menaruh kecurigaan pada BU dan juga karena sifatnya sangat moderat.
Pengurus Pertama Budi Utomo
Pada dekade ketiga abad XX kondisi-kondisi sosio-politik kurang matang dan BU mulai mencari orientasi politik yang mantap dan mencari masa yang lebih luas. Kebijaksanaan politik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, khususnya tekanan terhadap pergerakan nasional maka BU mulai kehilangan wibawa, terjadilah perpisahan kelompok moderat dan radikal. Pengaruh BU makin berkurang dan tahun 1935 organisasi itu bergabung dengan organisasi lain menjadi Partai Indonesia Raya (Perindra). Sejak saat itu BU terus mundur dari arena politik dan kembali ke keadaan sebelumnya. Walaupun ketua partai itu dr. Sutomo, salah seorang yang menerima ilham dari dr. Wahidin Sudirohusodo, orang sudah tidak banyak mengharapkan lebih banyak kegiatan dan pimpinannya. Namun demikian, dengan segala kekurangannya, BU telah mewakili aspirasi pertama dari rakyat Jawa ke arah kebangkitan dan juga aspirasi rakyat Indonesia. Hampir semua pimpinan terkemuka dari gerakan-gerakan nasionalis Indonesia pada permulaan abad XX paling kurang telah mempunyai kontak dengan organisasi ini.
Mengapa BU tidak langsung terjun ke lapangan politik seperti oraganisasi yang kemudian lahir? Rupanya BU menepuh cara dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada waktu itu sehingga wajar jika BU berorientasi kultural. Tindakan yang tepat berarti BU tanggap terhadap politik kolonial yang sedang berlaku. Contoh ialah bahwa pemerintah sudah memasang rambu Regeerings Reglement (RR) pasal 111 yang bertujuan membatasi hak untuk rapat dann berbincang yang dengan lain perkataan hak berpolitik dibatasi. Selama RR masih berlaku maka kegiatan BU hanya terbatas pada bidang sosio-kultural. Ini merupakan bukti bahwa BU selalu menyesuaikan diri dengan keadaan sehingga gerakan kultural lebih mewarnai kegiatan BU pada fase awal. Kebudayaan sendiri dijunjung tinggi guna menghargai harga diri agar mampu menghadapi kultur asing yang masuk.
Dalam perjalanannya, BU dengan fleksibitanya itu mulai menggser orientasinya dari kultur ke politik. Edukasi Barat dianggap penting dan dipakai sebagai jalan untuk menempuh jenjang sosial yang lebih tinggi. Golongan kyai cilik mendapatkan kesempatan untuk ikut seta memobilisasikan diri melalui kesempatan gerakan yang lebih merakyat. Usaha ini bersamaan dengan munculnya golongan menengah Indonesia dalam rangka memperoleh perbaikan social ekonomi maka tindakan-tindakannya harus disesuaikan dengan jalur politik. Meskipun demikian BU juga tidak cepat-cepat mengubah kehalauan politik semata dan ini memang dikuatkan oleh Dwijosewoyo bahwa “tenang dan lunak adalah sifat BU”.
BU bukan hanya dikenal sebagai salah satu organisasi nasional yang pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai salah satu organisasi yang terpanjang usianya sampai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Memang BU, seperti sudah disinggung di atas, memiliki arti penting, meskipun kalau dihitung anggotanya hanya 10 ribu, sedangkan SI mencapai 360 ribu, BU lah penyebab berlangsungnya perubahan-perubahan politik hingga terjadi integrasi nasional, maka wajarlah pada kelahiran BU tanggal 20 Mei disebut sebagai hari Kebangkitan Nasional. Lahirnya BU menampilkan fase pertama dari nasionalisme Indonesia. Fase ini menunjuk pada etno nasionalisme dan proses penyadaran diri terhadap identitas bangsa Jawa (Indonesia)

Penulis: Bagus Bayu Prayogi
Editor: Endar Mei Candra
Sumber:

Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional (dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908 – 1945). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar