Tentara Sukarela Pembela Tanah
Air atau PETA (郷土防衛義勇軍 kyōdo
bōei giyūgun) adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia dalam
masa pendudukan Jepang. Tentara Pembela
Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan
maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara
Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada sebagai Tentara Sukarela.
Pelatihan pasukan Peta dipusatkan di kompleks militer Bogor yang
diberi nama Jawa
Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai.
Tentara PETA telah berperan besar
dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Beberapa
tokoh nasional yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan
Jendral Besar Soedirman. Veteran-veteran tentara PETA telah menentukan
perkembangan dan evolusi militer
Indonesia, antara lain setelah menjadi bagian penting dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI)
hingga akhirnya TNI.
Karena hal ini, PETA banyak dianggap sebagai salah satu cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia.
Bendera yang digunakan Batalion PETA |
Latar Belakang
Pembentukan PETA dianggap berawal
dari surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan (kepala
pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi
permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di
medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan
Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat
bahwa hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat
patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari
kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pendapat ini ada benarnya, karena,
sebagaimana berita yang dimuat pada koran "Asia Raya"
pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya
usulan sepuluh ulama: K.H. Mas
Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA),
Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Mohammad Sadri, yang
menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan
mempertahankan Pulau Jawa. Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam
rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh golongan agama ini
dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan
ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera
tentara PETA yang berupa matahari
terbit (lambang kekaisaran
Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang (simbol
kepercayaan Islam).
Pendirian PETA didasarkan pada
maklumat Osamu Seirei Nomor 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara ke-16,
Letnan Jenderal Kumakichi Harada. Osamu Seirei No 44, 3 Oktober 1943 berisikan
mengenai Pembentukan Pasukan Sukarela untuk membela Pulau Jawa dengan status :
- Kesatu, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), terdiri dari warga negara yang asli
- Kedua, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), dilatih oleh tentara Jepang
- Ketiga, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), bukan milik organisasi manapun, langsung dibawah Panglima Tentara Jepang
- Keempat, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), sebagai tentara teritorial yang berkewajiban mempertahankan wilayahnya (syuu)
- Kelima, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), siap melawan sekutu
Pengumuman mengenai pembentukan
PETA itu dinyatakan bahwa seluruh anggotanya, baik prajurit maupun perwira
terdiri dari bangsa Indonesia sendiri. Pasukan PETA akan dibentuk pada setiap
Syu (Keresidenan) untuk membela daerah tersebut. Penyebarluasan berita
pembentukan PETA dan syarat-syarat menjadi anggota PETA ternyata mendapat
perhatian besar dari masyarakat, khususnya di Jawa. Penyebabnya karena PETA
tidak terlalu mementingkan tingkat pendidikan seperti yang di haruskanHeiho,
tetapi lebih mengutamakan kecakapan memimpin dan mengatur rombongan.
Mengenai umur hanya disebutkan
untuk calon Komandan Peleton harus berumur dibawah 30 tahun dan untuk calon
Komandan Regu dan Prajurit harus di bawah 25 tahun. Namun, mereka yang diterima
menjadi Komandan Batalyon adalah tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh kuat pada
suatu daerah tertentu seperti tokoh-tokoh agama, guru dan sebagainya. Para
calon perwira dilatih di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa
Bo-ei Giyugun Kanbu Resentai mulai bulan Oktober 1943, dan selanjutnya
pada bulan April, bulan Juli 1944, dan seterusnya. Mereka dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu calon Komandan Batalyon (Daidanco), Komandan Kompi (Gudanco),
dan Komandan Peleton (Syudanco). Angkatan pertama menyelesaikan latihan dan
dilantik pada bulan Desember 1943.
Tentara PETA sedang latihan di Bogor pada tahun 1944 |
Jepang mencoba untuk menarik hati
masyarakat Indonesia untuk mendapatkan bantuan dalam mengalahkan negara lain di
perang Asia Timur. dengan upaya yang di lakukan ini tentunya membuat Jepang
kemudian membentuk satu organisasi yaitu PETA (pembela tanah air). 3 oktober
1942 menjadi moment yang kemudian pemerintahan Jepang menunjuk Gatot
Mangukupraja sebagai pendiri organisasi ini. tujuannya adalah untuk membuat
rakyat Indonesia berfikir jika Organisasi ini asli dari anak bangsa.
Sebagai organisasi yang di bentuk
oleh Jepang tentunya memiliki tujuan. Tujuan tersebut adalah untuk memenuhi
kepentingan peperangan Jepang di Lautan Pasifik untuk membela Indonesia dari
serangan Blok Sekutu. Namun, selain itu pembentukan organisasi ini sebagai
strategi jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme untuk memberikan kesan
jika ini organisasi di bentuk oleh Indonesia.
Namun, dengan adanya PETA membuat
organisasi ini kemudian berkembang dengan pesat dan di manfaatkan oleh
Indonesia sebagai media untuk meraih kemerdekaan. Organisasi ini di ikuti oleh
para pelajar yang di siapkan sebagai tentara Jepang. Selain itu pasukan ini
hanya membantu untuk melawan pihak sekutu di perang Asia Pasifik bukan sebagai
pasukan resmi. Di antara prajurit yang ada, membuat Soedirma sebagai mantan
guru di Muhammadiyah sebagai orang yang berpengaruh di masa revolusi.
Dengan adanya PETA membuat
beberapa tingkat pangkat dalam organisasi ini:
- Daidanco (komandan batalyon) merupakan pegawai pemerintahan, pemimpin agama, pamng praja, politikus dan penegak hukum
- Cudanco (komandan kompi) merupakan guru dan juru tulis
- Shodanco (komandan peleton) pelajar dari sekolah lanjutan pertama dan atas
- Budanco (komanda regu) merupakan pemuda yang pernah bersekolah dasar
- Giyuhei (prajurit sukarela) pemuda yang belum pernah bersekolah
Dengan terbentuknya PETA membuat
para anggotanya kecewa karena Jepang yang selalu berjanji untuk membuat masa
depan yang lebih cerah, tinggi namun hanya membuat rakyat Indonesia hanya
menderita. Dengan kondisi ini kemudian terjadi pemberontakan pada 14 februari
1945 dengan di pimpin oleh Supriyadi. Namun pada tanggal 18 agustus 1945,
tentara Daidan Jepang untuk menyerah dengan memberikan senjata, dan esoknya
Jepang meninggalkan Indonesia. Dengan adanya Sejarah PETA ini membuat
perjuangan yang di berikan sangat luar biasa.
Di seluruh wilayah yang
didudukinya, Jepang menderita kekalahan yang mengejutkan, dan menjadi lemah.
Mereka ingin sekali memberi dukungan pada prajurut mereka dengan para pemuda
Indonesia yang tidak pernah mendapat pendidikan Belanda dan dengan demikian
tidak memiliki perasaan pro Barat. Secara teoritis, orang Indonesia yang
sederhana, tidak berpendidikan dan bersifat kekanak-kanakan itu akan mudah
diperlakukan sesuai kehendak Jepang. Mereka akan diindoktrinasi untuk membenci
Barat dan dilatih bagaimana bertempur.
Komando Tinggi Jepang menyetujui
pembentukan PETA, agar mempersiapkan penduduk asli untuk melawan Sekutu
seandainya invasi mereka berlangsung. Jauh lebih baik, demikian pikir para
Jenderal Jepang itu, darang bangsa Indonesia yang tertumpah daripada darah
bangsa Jepang.
Bagi Soekarno, PETA merupakan
kesempatan bagi rakyat yang tidak terlatih menjadi tentara yang andal. Untuk
pertama kali bangsa Indonesia belajar menggunakan senapan, untuk mempertahankan
dirinya sendiri. Mereka akan diajari disiplin militer, dilatih perang gerilya,
bagaimana menghadang musuh, bagaimana menembakan senapan dalam posisi
merangkak, bagaimana merakit granat buatan sendiri dengan menggunakan tempurung
yang diisi bensin. Mereka berlatih bagaimana berperang melawan musuh- siapapun
musuh yang mereka hadapi.
Pemuda Indonesia dalam pelatihan di Seinen Dojo yang kemudian menjadi anggota PETA |
Komando Tinggi Jepang meminta
Soekarno untuk mencari calon-calon perwira. Dia segera memanfaatkan kesempatan
ini. Argumentasinya, bagwa seseorang tidak akan secara sukarela mempertahankan
negerinya, kecuali dia seorang patriot yang penuh semangat. Perasaan kebencian
terhadap Sekutu yang akan ditanamkan Jepang harus diperkuat dengan perasaan
cinta kepada Tanah Air yang sifatnya positif sebagaimana yang diajarkannya.
Setelah diyakinkan seperti itu,
Komando Tinggi Jepang meminta Soekarno untuk memberikan dan menjamin nama-nama
orang yang memiliki kesetiaan terhadap Tanah Air.
Soekarno pun memilih para
pemimpin seperti Gatot Mangunpraja, seorang pemberontak PNI yang bersamanya
dipenjara di tahun 1929. Soekarno juga memilih orang-orang muda yang dapat dikendalikannya
dan nantinya dapat menjadi pahlawan-pahlawan revolusi. Soekarno lah yang pada
akhir 1943 mengusulkan orang-orang yang nantinya menjadi kolonel dan jenderal
dalam Tentara Nasional Indonesia.
Pemberontakan
Batalion Peta Di Blitar
Tanggal 14 Februari 1945 dipilih sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan pemberontakan, karena saat
itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar,
sehingga diharapkan anggota-anggota PETA yang lain akan ikut bergabung dalam
aksi perlawanan. Tujuannya adalah untuk menguasai Kota Blitar dan mengobarkan
semangat pemberontakan di daerah-daerah lain.
Walaupun rencana pemberontakan
telah dipersiapkan secara baik, akan tetapi terjadi hal yang tidak diduga.
Tiba-tiba pimpinan tentara Kekaisaran Jepang memutuskan membatalkan pertemuan
besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar. Selain itu, Kempetai (polisi
rahasia Jepang) ternyata sudah mencium rencana aksi Shodancho Supriyadi dan
kawan-kawan. Supriyadi pun cemas dan khawatir mereka ditangkap sebelum aksi
dimulai.
Shodancho Supriyadi beserta para
komandan dan anggota PETA di Blitar juga dihadapkan pada posisi sulit. Apabila
terus melanjutkan perlawanan, mereka akan kalah karena jumlah mereka tidak ada
apa-apanya dibandingkan jumlah tentara Kekaisaran Jepang. Namun, jika
perlawanan dibatalkan pun tentara Kekaisaran Jepang sudah mengetahui rencana
aksi mereka, sehingga kemungkinan besar para pemberontak akan ditangkap, lalu
dijatuhi hukuman yang sangat berat, yakni hukuman mati.
Sebenarnya, banyak yang menilai
rencana aksi pemberontakan PETA belum siap, salah satunya Sukarno. Dalam
perbincangan yang berlangsung cukup seru, Bung Karno sempat meminta Shodancho
Supriyadi dan para perwira PETA yang lain siap memikul tanggung jawab maupun
akibat apabila aksi pemberontakan PETA ternyata gagal total.
Tanggal 13 Februari 1945 malam
hari, Shodancho Supriyadi memutuskan bahwa pemberontakan tetap harus
dilaksanakan. Siap atau tidak siap, inilah saatnya tentara PETA membalas
perlakuan tentara Jepang. Shodancho Supriyadi juga berharap bahwa pengorbanan
darah dan nyawa para pemberontak PETA akan mengobarkan semangat perjuangan segenap
bangsa Indonesia menuju kemerdekaan, meskipun semua orang sudah tahu mereka
akan kalah menghadapi tentara Kekaisaran Jepang.
Tidak semua anggota Daidan Blitar
ikut memberontak. Shodancho Supriyadi meminta para pemberontak tidak menyakiti
sesama anggota PETA walaupun tak mau memberontak. Akan tetapi, semua orang
Jepang wajib dibunuh.
Tepat tanggal 14 Februari 1945
dini hari pukul 03.00 WIB, pasukan PETA pimpinan Shodancho Supriyadi
menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer
Kekaisaran Jepang. Markas Kempetai juga ditembaki senapan mesin. Akan tetapi
ternyata kedua bangunan tersebut sudah dikosongkan, karena pihak Jepang telah
mencium rencana aksi pemberontakan PETA. Dalam aksi yang lain, salah seorang
bhudancho (bintara) PETA merobek poster bertuliskan "Indonesia Akan
Merdeka" dan menggantinya dengan tulisan "Indonesia Sudah
Merdeka!".
Pemberontakan PETA sendiri
akhirnya tidak berjalan sesuai rencana. Shodancho Supriyadi gagal menggerakkan
satuan lain untuk memberontak dan rencana pemberontakan ini pun terbukti telah
diketahui oleh pihak Jepang. Dalam waktu singkat, Jepang mengirimkan pasukan
militer untuk memadamkan pemberontakan PETA. Para pemberontak pun terdesak.
Difasilitasi oleh Dinas Propaganda Jepang, Kolonel Katagiri menemui Shodancho
Muradi, salah satu pentolan pemberontak, dan meminta seluruh pasukan
pemberontak kembali ke markas batalyon.
Shodancho Muradi mengajukan
syarat kepada Kolonel Katagiri, yakni:
- Senjata para pemberontak tidak boleh dilucuti Jepang; dan
- Para pemberontak tidak boleh diperiksa atau diadili Jepang.
Kolonel Katagiri pun setuju. Dia
memberikan pedangnya sebagai jaminan. Ini adalah isyarat janji seorang samurai
yang harus ditepati. Akan tetapi, janji Katagiri ternyata tidak bisa diterima
oleh Komandan Tentara Jepang XVI. Mereka malah mengirim Kempetai untuk mengusut
pemberontakan PETA. Jepang pun melanggar janjinya.
Sebanyak 78 orang perwira dan
prajurit PETA dari Blitar akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara
untuk kemudian diadili di Jakarta. Sebanyak enam orang divonis hukuman mati di
Ancol pada tanggal 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya
dihukum sesuai dengan tingkat kesalahan.
Akan tetapi, nasib Shodancho
Supriyadi tidak diketahui. Shodancho Supriyadi menghilang secara misterius
tanpa ada seorang pun yang mengetahui kabarnya. Sebagian orang meyakini
Shodancho Supriyadi tewas di tangan tentara Jepang dalam pertempuran. Sebagian
orang juga ada yang meyakini Shodancho Supriyadi tewas diterkam binatang buas
di hutan-hutan sekitar Kota Blitar. Sebagian orang pun ada yang meyakini
Shodancho Supriyadi melakukan ritual dengan cara menceburkan dirinya ke dalam
kawah Gunung Kelud dekat Kota Blitar. Ada pula sebagian orang yang meyakini
bahwa Shodancho Supriyadi sesungguhnya masih hidup hingga saat ini, hanya saja
keberadaannya tidak diketahui atau sering hidup di alam ghaib. Namun satu hal
yang pasti, hilangnya Shodancho Supriyadi adalah suatu misteri sejarah nasional
Indonesia yang belum jelas hingga saat ini.
Setelah Indonesia merdeka,
Shodancho Supriyadi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Pertahanan
dan Keamanan Republik Indonesia yang pertama. Namun, Supriyadi ternyata tidak
pernah muncul lagi untuk selama-lamanya, hingga saat pelantikan para menteri.
Kemudian, saat para menteri dilantik oleh Presiden Soekarno, tertulis
"Menteri Pertahanan belum diangkat". Akhirnya, karena Supriyadi
benar-benar tidak muncul lagi, Presiden Soekarno pun mengangkat dan melantik
Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik
Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia pun
mengakui jasa-jasa Supriyadi dan akhirnya mengangkatnya sebagai salah satu
pelopor kemerdekaan serta sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Untuk mengenang perjuangan
pemberontakan tentara PETA pimpinan Shodancho Supriyadi, tepat di lokasi
perlawanan didirikan Monumen PETA yang terdiri atas tujuh buah patung tentara
PETA dalam posisi siap menyerang, di mana patung Shodancho Supriyadi diletakkan
tepat di tengah monumen sebagai pemimpin pemberontakan PETA.
Monumen Pemberontakan PETA di Blitar pimpinan Shodancho Supriyadi |
Adapun tugu tempat pengibaran
bendera merah-putih oleh Shodancho Parto Hardjono saat terjadinya pemberontakan
PETA kini dikenal sebagai "Monumen Potlot". Monumen Potlot sendiri
diresmikan di Kota Blitar pada tahun 1946 oleh Bapak TNI (Tentara Nasional
Indonesia) Panglima Jenderal Besar Soedirman.
Pembubaran PETA
Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia,
berdasarkan perjanjian kapitulasi
Jepang dengan blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan
para daidan batalion PETA untuk
menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dimana sebagian besar dari mereka
mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang
baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA
menjadi tentara nasional, karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru
lahir adalah kolaborator Kekaisaran
Jepang bila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini untuk
dilanjutkan. Sehari kemudian, tanggal 19 Agustus 1945, panglima
terakhir Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano Yuichiro,
mengucapkan pidato perpisahan pada para anggota kesatuan PETA.
Peran Dalam
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Sumbangsih dan peranan tentara
PETA dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesia sangatlah
besar. Demikian juga peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan Indonesia.
Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan
Jendral Besar Soedirman. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting
pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI),
mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI)
hingga TNI. Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18
Desember 1995 diresmikan monumen PETA yang
letaknya di Bogor, bekas markas besar PETA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar