Penyerbuan Jawa 1811 pada 1810-1811 adalah
sebuah perang antara Britania Raya dan Belanda yang terjadi seluruhnya di pulau Jawa di Indonesia. Gubernur-Jendral Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels (1762-1818),
memperkuat pulau Jawa terhadap kemungkinan adanya serangan Inggris. Pada 1810
sebuah ekspedisi Perusahaan Hindia Timur
Britania yang kuat di bawah Gilbert Elliot, gubernur-jendral India,
merebut pulau Bourbon (Réunion) dan Mauritius milik Perancis di Samudra Hindia dan pulau Ambon dan Maluku milik Hindia-Belanda. Setelah itu rombongannya
menuju Jawa dan kemudian merebut kota pelabuhan Batavia (Jakarta) pada Agustus 1811, dan memaksa pihak Belanda menyerah
di Semarang pada 17 September 1811. Jawa, Palembang, Makassar dan Timor
diserahkan kepada pihak Britania.
Letnan Gubernur Jawa yang dilantik, Thomas Stamford Raffles (1781-1826)
mengakhiri metode pemerintahan Belanda, membebaskan sistem kepemilikan tanah,
dan memperluas perdagangan. Pada Kongres Wina 1815, diputuskan bahwa Britania harus
mengembalikan Jawa dan kekuasaan Hindia-Belanda lainnya kepada Belanda sebagai
bagian dari persetujuan yang mengakhiri Perang Napoleon.
Melaka misalnya, dikembalikan kepada
Belanda pada 1818, tetapi terpaksa oleh Belanda harus diserahkan kembali
kepada Britania pada 1824 pada Perjanjian London (Traktat London). Kala itu diputuskan bahwa Belanda
harus menyerahkan semua wilayahnya di Semenanjung Melayu pada
Britania dan Britania menyerahkan semua wilayahnya di Sumatra pada Belanda.
Diagram Meester Cornelis (Sekarang Jatinegara, Jakarta) |
Penyerbuan Meester Cornelis adalah serangan angkatan
darat Britania terhadap kamp militer Hindia Belanda di Meester Cornelis yang dibela oleh tentara Belanda, Perancis dan pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara).
Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan lebar
antara 550-730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan
benteng pertahanannya. Serangan Angkatan Darat Britania tersebut dilakukan dari
Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar).
LATAR BELAKANG
Lord Minto, Gubernur Jenderal Kemaharajaan Britania 1807
telah berencana untuk mengurangi kendali Perancis atas Pulau Mauritius, Pulau Bourbon, dan Pulau Jawa. Pada 1810, Belanda takluk di bawah Perancis dalam Peperangan era Napoleon,
sehingga seluruh daerah kekuasaannya turut direbut Perancis, termasuk Hindia-Belanda dan Jawa di dalamnya. Napoleon Bonaparte menunjuk
Jenderal Belanda bernama Jan Willem Janssens sebagai Gubernur Jenderal di Jawa yang menggantikan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Sementara Inggris terus berusaha melanjutkan peperangannya terhadap Perancis,
perang perseteruan besar di Eropa yang menjalar hingga ke Jawa kala itu.
Rencana Lord Minto dijalankan, sebuah ekspedisi militer
Britania bergerak melewati Samudra Hindia menuju Jawa pada pertengahan 1811.
Ekspedisi tersebut dipimpin Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty, seorang warga Amerika yang pernah membantu
Britania dalam Perang Kemerdekaan Amerika.
Hampir 12.000 tentara dan 100 kapal, termasuk 4 kapal perang, 14 kapal pengawal,
7 kapal penjaga, dan 8 kapal penjelajah Perusahaan Hindia Timur
Britania berada dalam konvoi laut militer Inggris tersebut,
sebuah ekspedisi militer terbesar sebelum Perang Dunia II. Ekspedisi ini mendarat di Teluk Batavia (sekarang Teluk Jakarta) sekitar pukul dua siang hari Minggu, 4 Agustus 1811. Para serdadu Inggris kemudian berbaris di
Cilincing, daerah rawa di pesisir Batavia, dan tiga hari
kemudian berhasil menyeberangi Sungai Ancol,
bergerak dalam senyap menuju Kota Batavia.
MENGUASAI BATAVIA
Penyerangan Balaikota Batavia dilakukan pada pukul
sebelas malam. Serdadu Inggris tidak mengalami kesulitan memasuki Batavia
karena tembok yang mengelilingi Batavia telah dirobohkan oleh perintah Daendels
pada 1808-1810. Pusat kota yang sebelumnya dikuasai Perancis pun jatuh dengan
mudah ke tangan Inggris. Sebelum subuh 10 Agustus 1811, serdadu Inggris telah bergerak menyusuri
pinggiran kanal Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada)
menuju sebuah kawasan barak-barak militer di Weltevreden (kini Sawah Besar dan seputar Lapangan Banteng).
Pertempuran Weltevreden yang bergolak saat terbitnya
matahari itu berlangsung sekitar dua jam. Mayor Brigade William Thorn dalam
bukunya, Memoir of the Conquest of Java (1815) yang kala itu turut
terjun dalam pertempuran dan terluka di bagian kepalanya mencatat bahwa jumlah
serdadu Inggris yang terluka, tewas, dan hilang sebanyak 99 orang, dan tiga
kuda tewas. Ekspansi militer Lord Minto terus berlanjut menyisir Kwitang, Kramat, dan Salemba menuju Meester Cornelis, kala itu kamp militer serdadu Napoleon dan
Belanda, dengan pertahanan benteng di pinggir Ciliwung.
Pertempuran kadang berhenti selama sehari, yang digunakan
kedua pihak untuk melakukan perundingan tentang pertukaran tawanan perang yang
ditangkap dalam pertempuran 10 Agustus di Weltevreden. Thorn mencatat,
meskipun di tengah perang, pasukan Perancis di Batavia tetap menjunjung
pemimpin mereka Napoleon, merayakan ulang tahunnya pada 15 Agustus dengan dentuman meriam dari sejumlah pos
pertahanan mereka.
KRONOLOGI PERISTIWA
Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan lebar
antara 550-730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan
benteng pertahanannya. Pembelanya adalah campuran dari Belanda, Perancis dan
pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara).
Sebagian besar pasukan Hindia Timur tersebut diragukan loyalitas dan
efektivitasnya, meskipun ada beberapa pasukan artileri yang tangguh dari Sulawesi. Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar) terbukti sebagai markas ideal yang digunakan
Inggris untuk bisa menyerbu Meester Cornelis. Pada tanggal 14 Agustus Inggris melewati jalur yang melalui hutan dan
perkebunan lada untuk memungkinkan mereka membawa senjata dan amunisi berat,
dan memulai serbuan meriam di sisi utara benteng. Selama beberapa hari, terjadi
baku tembak antara Meester Cornelis dan meriam Inggris, diawaki terutama oleh Marinir Kerajaan dan
pelaut dari HMS Nisus.
Sebuah serangan cepat dari Meester Cornelis pada pagi
buta tanggal 22 Agustus secara singkat merebut
tiga meriam Inggris, sampai mereka didorong kembali oleh beberapa para prajurit
Bengali dan Resimen Serdadu ke-69. Kedua belah pihak kemudian saling
beradu tembak, yang mulai mereda pada 23 Agustus, tetapi berlanjut lagi pada tanggal 24 Agustus. Posisi pasukan Prancis-Belanda memburuk
ketika seorang desertir membantu Jenderal Rollo Gillespie untuk
menangkap dua benteng pertahanan yang terkejut. Gillespie, yang sedang
menderita demam, roboh, tetapi pulih untuk menyerbu sebuah benteng pertahanan
ketiga. Jenderal Perancis Jauffret tertangkap dan dipenjarakan. Dua perwira
Belanda, Mayor Holsman dan Mayor Muller, mengorbankan diri mereka dengan
meledakkan amunisi benteng pertahanan itu.
Tiga benteng pertahanan tersebut adalah kunci pertahanan
Meester Cornelis, dan hilangnya mereka menurunkan moral sebagian besar pasukan
Hindia Timur Janssens. Banyak tentara Belanda yang juga membelot, menyangkal
kesetiaan mereka terhadap Perancis. Tentara Inggris menyerbu Meester Cornelis
di tengah malam pada 25 Agustus, merebutnya setelah pertempuran
yang sengit. Penyerbuan tersebut memakan korban jiwa 630 korban di pihak
tentara Inggris.
Korban di pihak Prancis-Belanda lebih berat, namun hanya
korban yang merupakan perwira militer yang tercatat. Empat puluh dari mereka
tewas, enam puluh tiga terluka, dan 230 ditangkap , termasuk dua jenderal
Perancis. Hampir 5.000 orang ditangkap , termasuk tiga perwira jenderal,
34 petugas lapangan, 70 kapten dan 150 perwira bawahan. 1.000 pria ditemukan
tewas di benteng tersebut, dengan lebih banyak yang terbunuh dalam pengejaran
berikutnya. Janssens melarikan diri ke Buitenzorg (sekarang Bogor)
dengan beberapa yang selamat dari pasukannya, tetapi dipaksa untuk meninggalkan
kota tersebut ketika Inggris juga mendekat. Pengejaran yang lama akhirnya
berakhir dengan menyerahnya Janssen di Tuntang, dekat Kota Salatiga, pada 16 September 1811. Bendera Britania akhirnya berkibar di
benteng-benteng di seluruh Pulau Jawa.
Menurut catatan Thorn, pertempuran 17 hari di Batavia
tersebut bagi pihak Inggris mengakibatkan korban luka, tewas, dan hilang
sebanyak 736 serdadu Eropa dan 153 serdadu India. Jumlah kerugian total
Inggris dalam operasi militer setelah jatuhnya Meester Cornelis adalah sebesar
141 tewas, 733 terluka dan 13 hilang dari Angkatan Darat, dan 15 tewas, 45
terluka dan tiga hilang dari Angkatan Laut; total 156 tewas , 788 terluka dan
16 hilang saat 27 Agustus.
WARISAN DI JATINEGARA
Dari serdadu-serdadu yang terluka pada Pertempuran
Meester Cornelis 26 Agustus 1811,
Thorn mencatat nama seorang rekannya, Letnan Kolonel Campbell, yang akhirnya
meninggal dua hari kemudian dan dimakamkan di sebuah petak di dekat Pasar Baru. Beberapa tahun kemudian, di pusaranya terdapat
sebongkah batu nisan penanda yang berisi tulisan janda Campbell. Makam tersebut
menjadi semacam monumen peristiwa berdarah tersebut, dan menjadi bagian halaman
gedung Kantor Pos Besar di
Pasar Baru. Seratus tahun setelah pertempuran di Meester Cornelis tersebut,
makam Campbell tetap tidak tergusur. Namun karena terbengkalai akhirnya pada
November 1913, nisan terebut dan sisa jasad Campbell dipindahkan ke halaman
Gereja Anglikan di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat.
Pertempuran Meester Cornelis juga meninggalkan sebuah
kenangan toponimi di sekitar wilayah Jatinegara. Konon di sebuah
kawasan yang dulunya banyak berserakan mayat korban pertempuran serdadu Inggris
dan Perancis tersebut dijuluki warga dengan julukan "Rawa Bangke".
Nama kampung tersebut masih tercetak dalam peta Batavia 1930-an, namun kini
kampung tersebut berubah nama menjadi "Rawa Bunga"
yang menjadi bagian Jakarta Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar