PENDAHULUAN
Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 membuat Indonesia
menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonominya menjurus pada
sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini,
diharapkan akan bermuara pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial,
politik, dan ekonomi. Tapi nyatanya, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil
pemerintah pada masa itu belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia.
Indonesia pada waktu itu menjurus
pada system etatisme, artinya segala-galanya di aturdan di pegang oleh
pemerintah.Kegiatan-kegiatan ekonomi banyak diatur oleh peraturan-peraturan
pemerintah, sedangkan prinsip-prinsip ekonomi banyak yang diabaikan.Akibatnya,
defisit dari tahun ke tahun meningkat 40 kali lipat. Dari Rp. 60,5 miliar pada
tahun 1960 menjadi Rp. 2.514 miliar pada tahun 1965, sedangkan penerimaan
negara pada tahun 1960 sebanyak Rp. 53,6 miliar, hanya meningkat 17 kali lipat
menjadi Rp. 923,4 miliar. Mulai bulan Januari – Agustus 1966, pengeluaran
negara menjadi Rp. 11 miliar, sedangkan penerimaan negara hanya Rp. 3,5 miliar.
Defisit yang semakin meningkat ditutup dengan pencetakan uang baru tanpa
perhitungan matang.Akibatnya menambah berat angka inflasi.
Dari rincian di atas maka dapat
ditarik beberapa rumusan masalah. Bagaimana pada masa Demokrasi terpimpin
tersebut perekonomian Indonesia menjadi lebih baik mulai dari kebijakan Gunting
Syarifudin, adanya Sistem Ekonomi Gerakan Benteng, kemudian menasionalisasikan Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi bank Sentral dengan nama Bank
Indonesia. Tidak hanya itu kemudian juga ada Sistem Ekonomi Ali-Baba dan
Persaingan Ekonomi Finansial hingga adanya Rencana Pembangunan Lima Tahun dan
Musyawarah Pembangunan Nasional.