Jend. Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto, (ER, EYD:
Suharto) (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo,
Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal
di Jakarta, 27 Januari 2008 pada
umur 86 tahun) adalah orang kedua yang menjabat Presiden Indonesia
(1967-1998), menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama
di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan
sebutan populer "The Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang
Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum.
Sebelum menjadi presiden,
Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda,
dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah
pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi
ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.
Soeharto kemudian mengambil alih
kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih
kembali oleh MPR pada
tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya
berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul
terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan
gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia
terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan
sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang
stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga
membatasi kebebasan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim
paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar. Usaha
untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah
menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
AWAL HIDUP DAN
PENDIDIKAN
Pada 8 Juni 1921,
Sukirah melahirkan bayi laki-laki di rumahnya yang sederhana di Dusun Kemusuk,
Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun
bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono.
Oleh ayahnya, Kertoredjo alias Wagiyo alias Panjang alias Kertosudiro bayi
laki-laki itu diberi nama Soeharto. Dia adalah anak ketiga Kertosudiro dengan
Sukirah yang dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri pertama,
Kertosudiro yang menjadi petugas pengatur air desa atau ulu-ulu, dikaruniai dua
anak. Perkawinan Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama. Keduanya bercerai
tidak lama setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan
dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo.
Belum genap 40 hari, bayi
Soeharto dibawa ke rumah Mbah Kromo karena ibunya sakit dan tidak bisa
menyusui. Mbah Kromo kemudian mengajari Soeharto kecil untuk berdiri dan
berjalan. Soeharto juga sering diajak ke sawah. Sering, Mbah Kromo menggendong
Soeharto kecil di punggung ketika sedang membajak sawah. Kenangan itu tidak
pernah dilupakan Soeharto. Terlebih ketika kakeknya memberi komando pada kerbau
saat membajak sawah. Karena dari situlah, Soeharto belajar menjadi pemimpin.
Soeharto juga suka bermain air, mandi lumpur atau mencari belut.
Ketika semakin besar, Soeharto
tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah
ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di
Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes
(Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono pindah rumah ke Kemusuk
Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa
Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri
tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan
diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian
disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga
mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.
Kegemaran bertani tumbuh selama
Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani,
Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto
belajar mengaji di sanggar bersama teman-temannya. Belajar mengaji bahkan
dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan
mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran
Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat Sekolah Rendah (SR)
empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah
di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono.
Pak Hardjowijono adalah teman ayahnya yang pensiunan pegawai kereta api.
Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka
di Wonogiri waktu itu.
Karena sering diajak, Soeharto
sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati
orang sakit. Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk untuk melanjutkan
sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu
dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa
memakai alas kaki (sepatu).
Setamat SMP, Soeharto sebenarnya
ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya
yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha
mencari pekerjaan ke sana ke mari, namun gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di
Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa
(Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta berhenti.
Suatu hari pada tahun 1942,
Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce
Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan
diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan
pangkat sersan, karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian
pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.
KARIER MILITER
Pada 1 Juni 1940,
ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan menjalani
latihan dasar, ia tamat sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan menerima
pangkat kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara,
Gombong serta resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung dengan pasukan
kolonial Belanda, KNIL.
Saat Perang Dunia II berkecamuk
pada 1942, ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan
di Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu. Setelah berpangkat sersan
tentara KNIL, dia kemudian menjadi komandan peleton, komandan kompi
di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan pangkat
mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.
Setelah Perang
Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda
Mataram dengan pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam
operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk
sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota
Makassar yang bertugas mengamankan kota dari gangguan eks KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949,
ia ikut serta dalam serangan umum yang
berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama
enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan
Hamengkubuwono IX kepada Panglima Besar Soedirman bahwa Brigade
X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta dan
menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia
(RI) masih ada.
Pada usia sekitar 32 tahun,
tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen
Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956,
ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro
di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan
Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi
kolonel.
Lembaran hitam juga sempat
mewarnai lembaran kemiliterannya. Ia dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro.
Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut
akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta
uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke
pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani. Atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan
dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD)
di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia
mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan
pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960.
Kemudian, dia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39
tahun.
Pada 1 Oktober 1961,
jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang
telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya
sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut,
ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Paris (Perancis), dan Bonn
(Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya
dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962)
dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap
sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar. Sekembalinya dari Indonesia
Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke
markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962,
Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(Kostrad) hingga 1965.
Sekitar setahun kemudian,
tepatnya, 2 Januari 1962,
Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan
Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan
Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya.
Setelah diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
pada 1 Mei 1963,
ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965.
Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965,
Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan
wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh
sebagai pelaku G-30-S/PKI.
NAIK KE KEKUASAAN
Pada pagi hari 1 Oktober 1965,
beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawadi bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain
menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A. H. Nasution yang menjabat sebagai
Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil
lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta
adalah Mayor Jendral Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto
ini terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu.
Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan
bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang
direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada
"Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal
sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi
oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada
masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan
kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat tidak diketahui
keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan
Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima
Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat
Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang
memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala
tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil
Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun
sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang
diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut
pengamat internasional dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata
Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada
Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya
Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno
dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan dari
unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan
penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan
pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu "tersangka komunis",
kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia.
Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam penumpasan
komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa mereka telah
menulis daftar "operasi komunis" Indonesia dan telah menyerahkan
sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been
Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di
1990 bahwa: "Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan
Bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki
banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda
harus memukul keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli
Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and
Research di 1965: "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah
komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja
tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan
sumber daya di militer.
Setelah dilantik sebagai Menteri
Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965,
ia segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966,
dia menerima Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga
jenderal, yaitu Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi Supersemar
adalah memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk dan atas nama
Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi agar mengambil tindakan
yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan
jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Sehari kemudian, 12 Maret 1966,
Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai terlarang
di Indonesia.
Karena situasi politik yang
memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967,
Soeharto yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat
pada 1 Juli 1966 ditunjuk
sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967.
Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima
penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang
Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967,
Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR
hasil pemilihan umum.
Jenderal Soeharto ditetapkan
sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah
pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto
menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968)
pada 27 Maret 1968.
Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri
Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama.
Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru. Susunan kabinet yang diumumkan
pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet Pembangunan "Rencana Pembangunan
Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli
Ekonomi Presiden yang terdiri atas Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali
Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto,
Dr Emil Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.
Pada 3 Juli 1971,
presiden mengangkat 100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata dan memberikan 9
kursi wakil Provinsi Irian Barat untuk wakil dari Golkar. Setelah menggabungkan
kekuatan-kekuatan partai politik, Soeharto dipilih kembali menjadi presiden
oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan
yang kedua kali. Saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai
wakil presiden.
Pada usia 55 tahun, Soeharto
memasuki masa pensiun dari dinas militer (Keprres No 58/ABRI/1974). Pencapaian
puncak di dunia politik turut melengkapi kisahnya hidupnya sebagai seorang
penguasa. Setelah mencapai posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya mulai
menampakkan taringnya. Pada 20 Januari 1978,
Presiden Soeharto melarang terbit tujuh surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The
Indonesian Times, Sinar
Pagi, dan Pos
Sore. Beberapa di antaranya kemudian meminta maaf kepada Soeharto.
Pada 22 Maret 1978,
Soeharto dilantik kembali presiden untuk periode ketiga kalinya dan Adam Malik
sebagai wakil presiden. Sidang Umum MPR 1 Maret 1983 memutuskan memilih kembali
Soeharto sebagai presiden dan Umar Wirahadikusumah sebagai wakil presiden.
Melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak
Pembangunan Republik Indonesia. Pada 16 Maret 1983,
Presiden Soeharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan IV yang terdiri atas
21 menteri, tiga menteri koordinator, delapan menteri muda, dan tiga pejabat
setingkat menteri. Pada 1 Januari 1984,
Presiden Soeharto mengisi formulir keanggotaan Golkar dan sejak itu ia resmi
menjadi anggota Golkar.
Beberapa pengamat politik baik
dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik
dengan Republik Rakyat
Tiongkok dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB.
Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan
meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen - Komando
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen
Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan massal
dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta.
Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut "musuh
negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda
sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka
komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA.
Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini
ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini
dari Pemerintah
Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai
invasi Timor Timur, dan
terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya
alamnya dan populasi konsumen yang
besar, Indonesia dihargai sebagai rekan
dagang Amerika Serikat dan
begitu juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika
Soeharto mengunjungi Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton dikutip
di New York Times mengatakan bahwa
Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan
kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto
diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun
kemudian, pada 27 Maret 1968 dia
resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia
secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya yang
diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu
pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar
amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun kemudian meminta nasihat dari
tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan
baru ini adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh
hutang luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu
hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono
Humardani sebagai asisten finansial besar artinya dalam
pencapaian ini.
Di bidang sosial politik,
Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai asisten untuk
masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan
partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian.
SEBAGAI PRESIDEN
Roma, Italia, 14 November 1985.
Musim dingin yang membekap Kota Roma ketika itu turut menggigit tubuh setiap
peserta Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Tidak
kurang dari 165 negara anggota mengirimkan wakilnya ke perhelatan yang membetot
perhatian mata dunia terhadap Indonesia kala itu. Presiden Soeharto yang sukses
mengantarkan Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia menjadi
swasembada didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya. Dia menyerahkan
bantuan satu juta ton padi kering (gabah) dari para petani untuk diberikan
kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan.
“Jika pembangunan di bidang
pangan ini dinilai berhasil, itu merupakan kerja raksasa dari seluruh bangsa
Indonesia,” kata Presiden Soeharto dalam pidatonya. Karena itu, FAO mengganjar
keberhasilan itu dengan penghargaan khusus berbentuk medali emas pada 21 Juli
1986. Prestasi Soeharto di bidang pertanian memang fantastik atau dahsyat.
Indonesia mengecap swasembada besar mulai 1984. Produksi besar pada tahun itu
mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data 1969 beras yang dihasilkan Indonesia
hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor beras minimal 2 juta
ton.
Sebab itu, pada 10 Maret 1988,
Soeharto kembali terpilih sebagai presiden oleh MPR yang kelima kalinya. Posisi
wakil presiden diserahkan kepada Sudharmono. Sekali lagi, mata dunia tertuju
lagi kepada seorang Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan program
kependudukan dan keluarga berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam
penghargaan perorangan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New
York pada 8 Juni 1989. “Kenaikan produksi pangan tidak banyak berarti jika
pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali,” tandas Soeharto.
Dia dianugerahi UN Population
Award, penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan. Penghargaan itu
disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller di Markas
Besar PBB, New York bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8
Juni 1989. Soeharto makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat bangsa
Indonesia di latar ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut
mengembangkan organisasi regional ini sehingga diperhitungkan di dunia. “Tanpa
kebaikan dan kehadiran Soeharto, kami akan menghabiskan banyak jatah produk
domestic bruto di bidang pertahanan,” ujar Perdana Menteri Australia Paul
Keating ketika itu. Paul Keating menyebut Soeharto sebagai “ayah”.
Dalam bukunya, Soeharto;
Political Biography, Robert Edward Elson menulis, “Soeharto adalah tokoh yang
amat penting selama abad XX di Asia.” Dua Presiden Amerika Serikat, Richard
Nixon dan Ronald Reagan juga memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto
mengklaim dirinya anak petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak berambisi
menguasai negeri Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah,
di antara istri dan anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya secara
kebetulan diberi kepecayaan oleh rakyat untuk memimpin negara ini sebagai
presiden,” tutur Soeharto dalam suatu temu wicara pada Peringatan Hari Ibu
ke-67 di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 22 Desember
1989.
Sebab itu, pada 14 September
1991, Presiden Soeharto menolak permintaan Amerika Serikat untuk memperoleh
pangkalan militer di Indonesia setelah pindah dari Filipina. Soeharto dipilih
oleh MPR sebagai presiden untuk yang keenam kalinya pada 10 Maret 1993. Kali ini,
Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Setelah enam kali berturut-turut
ditetapkan MPR sebagai presiden, Soeharto mulai menyatakan jika dirinya tidak
berambisi menjadi presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada kepemimpinannya
periode ini, Presiden Soeharto memberhentikan Prof. Dr. Satrio Budiharjo
Joedono selaku Menteri Perdagangan sebelum akhir masa jabatan (6 Desember
1995).
Soeharto yang mengawali
kekuasaannya sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan menjadi presiden
pada 27 Maret 1968 terus menggenggam jabatan itu selama 31 tahun. Semula ada
yang memperkirakan bahwa Soeharto akan menolak pencalonannya kembali sebagai
presiden untuk periode yang keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal
dunia pada 28 April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya
mencapai 75 tahun, ia bukan saja bersedia untuk dicalonkan kembali tetapi
menerima untuk diangkat kembali sebagai presiden untuk periode 1998-2003. Ia
menerima penganugerahan Bintang Lima atau Pangkat Jenderal Besar saat berusia
76 tahun (39 September 1997).
Pada 25 Juli 1996, Presiden
Soeharto menerima PDI pimpinan Soerjadi dan menolak kepemimpinan Megawati
Soekarnoputri untuk memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua hari
kemudian terjadi peristiwa 27 Juli berdarah.
UPAYA MENGATASI
KRISIS DAN MEREDAM OPOSISI
Krisis moneter yang melanda Asia
pada tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia. Bahkan, krisis itu menerjang juga
sektor krisis ekonomi. Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan
Bank Dunia untuk memperkuat sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu.
Presiden minta seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi gejolak krisis
moneter (29 November 1997).
Di tengah krisis ekonomi yang
parah dan adanya penolakan yang cukup tajam, pada 10 Maret 1998, MPR
mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Kali ini, Prof.
Ing. B.J. Habibie sebagai wakil presiden. Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan
seluruh gaji dan tunjangannya sebagai presiden dan meminta kerelaan para
pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam
rangka krisis moneter.
Menghadapi tuntutan untuk mundur,
pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai
tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan
bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan
kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas menteri bidang ekonomi dan
industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei 1998).
Krisis moneter dan ekonomi benar-benar menggerogoti sistem kepemimpinannya.
Dampaknya, Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan negeri.
Hanya berselang 70 hari setelah
diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto
terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto lengser
tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat), Soeharto
berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu
menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.
Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi
periode yang teramat panjang. Bagaimanapun, masa-masa itu kekuasaannya semakin
tergerus oleh berbagai aksi dan peristiwa. Aksi mahasiswa menyebar ke seantero
negeri. Ribuan mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat.
Mahasiswa Trisakti, Jakarta mengelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka.
Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan artileri serta
berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat stategis. Tanggal 12 Mei
1998 sore, terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.
Sehari kemudian, tanggal 13 Mei
1998, jenasah keempat mahasiswa yang tewas diberangkatkan ke kediaman
masing-masing. Mahasiswa yang hadir menyanyikan lagu Gugur Bunga. Tewasnya para
mahasiswa disiarkan secara luas melalui pemberitaan radio, televise, dan surat
kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan sebagai ledakan suatu peristiwa yang
lebih besar. Kamis, 14 Mei 1998, ibukota negara (Jakarta) dilanda kerusuhan
hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden Soeharto dan
rombongan mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan udara utama TNI
AU Halim Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk mengikuti Konfrensi
Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 15 (Group 15/G-15).
Tanggal 16 Mei 1998, Presiden
mengadakan serangkaian pertemuan termasuk berkonsultasi dengan unsure pimpinan
DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief
mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan
mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring dengan
mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Mereka yang tewas adalah dua
mahasiswa angkatan 1995 dan dua mahasiswa angkatan 1996. Angkatan 1995 terdiri
dari Hery Hartanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin) dan Hafidhin
Alifidin Royan (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin). Sedang, mahasiswa yang
tewas angkatan 1996 adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan Jurusan Arsitektur) dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan
Manajemen) .
Soeharto membangun dan memperluas
konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan
basis teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui
pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan
pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer
di bidang politik yang permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan
badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan
Sumitro dipergunakan untuk
menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan
kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto
karena dianggap potensial mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari
sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa
ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978
untuk mengeliminir gerakan mahasiswa
maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras
oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak
kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme
kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan
lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya
restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi
massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu
organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga
organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980
muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan
tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran
yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan
Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi
politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal
serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap
pemerintahan Orde Baru.
PUNCAK ORDE BARU
Pada masa pemerintahannya,
Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan
pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan
dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat
yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di
dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi,
Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan
ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang
tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992,
IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam
urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh
lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat
bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB
seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya,
kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down
effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan
ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan
industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung
pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga,
tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984.
Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun
berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan
sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik Tiongkok, dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden
Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada
masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan
berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang
menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan
dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik
dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun
dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana
muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai
utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU.
Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf
pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncullah
berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam
pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang
tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat
muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan
politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
BEBERAPA CATATAN ATAS
TINDAKAN REPRESIF ORDE BARU
Presiden Soeharto dinilai memulai
penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang
penggunaan tulisan
Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan menutup
organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Walaupun
begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi
Perdana Menteri Singapura yang
beretnis Tionghoa.
Pada 1970
Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang
meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa
korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup
komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol
militer dan penyensoran media. Dia
menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya,
termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer
melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan
kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia
memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral
college". dan juga terpilih kembali pada 1978,
1983,
1988,
1993,
dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan
mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk
partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu
semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai
Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik
dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia.
Pada 1975,
dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan
Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur
dan gerakan Fretilin memegang
kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta
kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang
campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh
Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor
Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke
administrasi PBB pada 1999.
Korupsi menjadi beban berat
pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang
kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik
yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi,
akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah
mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok
ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara
satu partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga
semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi
HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang
mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor
Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996
Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri
dari kepemimpinan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai resmi.
Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai tersebut.
Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996
(peristiwa Sabtu Kelabu)
yang dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
KEJATUHAN PRESIDEN
SOEHARTO
Pada 1997,
menurut Bank Dunia, 20
sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama
bertahun-tahun. Krisis finansial
Asia pada tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi
pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang
juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Meskipun sempat menyatakan untuk
tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003,
terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih
kembali oleh parlemen untuk
ketujuh kalinya di Maret 1998.
Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak
pada pendudukan
gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri
pada 21 Mei 1998 untuk
menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia.
Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang
berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan
termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan
salah satu faktor berakhirnya era Soeharto. Namun, Michel Camdesus, Direktur
IMF mengakui bahwa apa yang dilakukan IMF di
Indonesia tidak lain sebagai katalisator jatuhnya Pemerintahan Soeharto.
Sebagaimana dikutif New York Times, Camdesus menyatakan “we created the
conditions that obliged President Soeharto Left his job".
Di Credentials Room, Istana
Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden Soeharto membacakan
pidato yang terakhir kali, demikian:
“Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat
perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan
reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar
pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh
keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan
konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan
pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite
Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun, kenyataan hingga
hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena
tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite
tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya
tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi,
maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit
bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan
dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945
dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan
fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti
dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan
ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya
sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR
pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI,
Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan
Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya
memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta
maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia
tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri
saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk
menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari
kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara
wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di
hadapan Mahkamah Agung RI.”
Sesaat kemudian, Presiden
Soeharto menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie.
Setelah melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya B.J. Habibie resmi memangku
jabatan presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan Presiden
Soeharto, pimpinan dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa
saja yang turut dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika itu.
Tak berselang terlalu lama,
Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto membacakan
pernyataan sikap, demikian: pertama, memahami situasi yang berkembang dan
aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik permintaan berhenti
Bapak Soeharto sebagai Presiden RI serta berdasarkan konstutusi mendukung Wakil
Presiden Bapak B.J. Habibie sebagai Presiden RI.
Kedua, ABRI yang tetap kompak dan
satu berharap dan mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menerima
kehendak pribadi Presiden Soeharto tersebut yang telah sesuai dengan
konstitusi, yakni Pasal 8 UUD 1945. Ketiga, dalam hal ini, ABRI akan tetap
berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat mengancam
keutuhan bangsa.
Keempat, menjunjung tinggi nilai
luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para
mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak Soeharto beserta keluarganya.
Kelima, ABRI mengajak semua pihak agar bersikap tenang, mencegah terjadinya
kerusuhan dan tindak kekerasan yang akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri.
KASUS DUGAAN KORUPSI
Setelah Soeharto resmi mundur
dari jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen masyarakat mulai menuntut
agar digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan presiden yang bekuasa paling
lama di Indonesia itu. Pada 1 September 1998, tim Kejaksaan Agung
mengumumkan adanya indikasi penggunaan uang yayasan di bawah pemerintahan
mantan Presiden Soeharto. Melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)
pada 6 September 1998, Soeharto muncul dan
menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di luar negeri.
Jaksa Agung AM Ghalib dan Menko
Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di Jalan Cendana (Jakarta) untuk mengklarifikasi
penyataan tersebut (21 September 1998).
Pada 21 November 1998, Fraksi Karya
Pembangunan (FKP) mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan mantan Presiden
Soeharto sebagai tahanan kota. Ini merupakan tindak awal pengusutan harta dan
kekayaan Soeharto yang diduga berasal dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme
(KKN).
Pada 3 Desember 1998, Presiden BJ Habibie
menginstruksikan Jaksa Agung A.M. Ghalib segera mengambil tindakan hukum
memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9 Desember 1998, Soeharto diperiksa
tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Tinggi Jakarta sehubungan dengan dana yayasan,
program mobil nasional, kekayaan Soeharto di luar negeri, dan kasus Tapos.
Majalah Time melansir berita tentang kekayaan Soeharto di luar negeri yang
mencapai US $15 miliar (22 Mei 1999). Pada 27 Mei 1999, Soeharto menyerahkan
surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung A.M. Ghalib untuk menelisik kekayaannya
di Swiss dan Austria, seperti diberitakan Majalah Time. Pada 2 Juni 1999, Soeharto mengadukan
Majalah Time ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas tuduhan
memfitnah pada pemberitaannya. Soeharto menuntut ganti rugi sekitar 27 miliar
dollar AS.
Soeharto memiliki dan mengetuai
tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar,
Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti
(Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong
Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk
menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh
yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini
berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan
dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency
International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak
dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar
dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.
Pada 12 Mei 2006,
bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh
mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP)
perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan
korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan
kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan.
SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006,
namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
pada 12 Juni 2006.
PENINGGALAN
Bidang Politik
Sebagai presiden Indonesia selama
lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak memengaruhi sejarah Indonesia.
Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan dukungan
dari Amerika Serikat memberantas
paham komunisme dan melarang pembentukan
partai komunis. Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27
(saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De
Timor Leste Independente/partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa
di sana bila dibiarkan merdeka. Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan
ribu korban jiwa sipil. Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto
dalam masa pemerintahannya membuatnya populer dengan sebutan "Bapak",
yang pada jangka panjangnya menyebabkan pengambilan keputusan-keputusan
di DPR kala itu disebut secara konotatif
oleh masyarakat Indonesia sebagai sistem "ABS" atau "Asal Bapak
Senang".
Bidang Kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah
penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang
menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini
dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan
berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan
hidup.
Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek
Wajib
Belajar yang bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah
anak Indonesia. Pada awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar
dari uang sekolah (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga
anak-anak dari keluarga miskin juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian
dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9 tahun.
KEMATIAN
Pada Tanggal 27 Januari 2008
Pukul 13.10 WIB, Soeharto meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta.
Kemudian sekitar pukul 14.35, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan
dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung
jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta
pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan
itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi
tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan
Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang
membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan
Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang
tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan
jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu
(27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan
Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00
WIB, Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
PEMAKAMAN
Jenazah mantan presiden Soeharto
diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari
2008, pukul 07.30 WIB menuju Bandara Halim Perdanakusuma.
Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul
10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo,
Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu sebelum pukul 12.00
WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahad pada pukul 12.15 WIB bersamaan
dengan berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di liang lahat siang
itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh
inspektur upacara Susilo Bambang
Yudhoyono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar